ALIH WAHANA KARYA SASTRA: SEBUAH TANTANGAN?

Oleh: Sudarwanti 

“Menulis adalah sebuah kebutuhan agar otak kita tidak dipenuhi oleh feses pemikiran. Maka, menulislah. Entah itu di buku tulis, daun lontar, prasasti, atau bahkan media sosial, menulislah terus tanpa peduli karyamu akan dihargai oleh siapa dan senilai berapa.”-Fiersa Besary-

Ketika akan menulis, quote di atas saya baca berulang-ulang untuk menemukan ide tulisan. Tidak peduli apa tulisannya bagus atau tidak, yang penting nulis. Menulis memerlukan satu unsur sangat penting, yakni ide. Ide tak kunjung datang. Atau datang tapi enggan untuk di tulis, ya sudahlah tulislah apa adanya. Atau ada apa  maka tulislah.

Tulisan ini adalah kesan mendalam terhadap seminar menulis yang diadakan di Sidoarjo beberapa tahun lalu.  “Amazing” kata kunci yang tepat untuk  acara seminar menulis “Alih Wahana Novel dan Pemasarannya”. Bagaimana bisa? Warga SPK (Sahabat Pena Kita), kumpulan para penulis andal menjadi tamu terhormat warga Sidoarjo, khususnya para pegiat literasi. Ibu rumah tangga, guru, dosen, pak kyai  partisipan yang tergabung dalam SPK. Apalagi dalam satu forum bersama Ir. Kirana Kejora yang merupakan writerpreneur, film producer, best selling novelist dan Dr. M. Shoim Anwar, seorang sastrawan, budayawan serta dosen. Pertemuan SPK vs Kirana Kejora dan Pak Shoim memang luar biasa dan bertabur ilmu.

Ibarat menemukan  air di gurun sahara, setelah sekian lama tidak ada gaung giat literasi sejak adanya covid 19. Membludaknya pendaftar menunjukkan antusiasme untuk menggali ilmu dari mbak Key, sebutan akrab Kirana Kejora dan Pak Shoim. Sampai-sampai,  pendaftaran ditutup masih banyak peserta yang mendaftar. 

Pengumuman adanya seminar tidak disebar secara luas,  mengingat kapasitas ruang hanya 130 orang. Masing-masing komunitas pegiat literasi diberi sedikit kuota untuk bisa hadir di acara seminar literasi gratis ini.  Sampai hari H pelaksanaan yang sudah mendaftar 178 orang. Panitia menyiapkan ruang sebelah dengan kapasitas 50 peserta. Di ruang yang berkapasits 50, peserta bisa menyaksikan pemateri melalui layar LCD.

“Getun” (menyesal) bagi orang-orang tidak bisa hadir dikarenakan tidak mendapatkan izin dari pimpinannya, karena Sabtu bukan hari libur bagi sebagian orang. Ada yang mendapat info terlambat sehingga pendaftaran sudah ditutup  Tapi panitia sangat bijak dan smart, membagikan link youtube yang bisa diunduh dan ditonton kembali giat literasi ini. Tapi sayangnya hasil dari perekaman di link youtube masih belum optimal. 

Kirana Kejora, seorang novelis dari Sidoarjo yang sudah menasional. Beberapa novelnya sudah dialih-wahanakan menjadi film. Air Mata Terakhir Bunda, salah satu judul film yang dialih-wahanakan dari karya novelnya. Latar pembuatan film menggunakan lokasi Sidoarjo. Sebagai warga Sidoarjo, ikut bangga atas prestasi mbak “Key”, sekaligus malu karena ada “aset andal” Sidoarjo yang baru diketahui khalayak, khususnya para pegiat literasi. Sidoarjo “kecolongan”  mungkin istilah yang tepat untuk prestasi dan kiprah mbak Key di dunia kepenulisan. Sementara pegiat literasi di Sidoarjo mengenalnya baru-baru ini. Kata Bang Haji Rhoma Irama “terlalu”. 

Pemateri berikutnya yang tidak kalah menariknya adalah pak Shoim. Pak Shoim, seorang cerpenis yang sudah terkenal. Karya-karyanya bisa dinikmati baik di media cetak maupun media elektronik. Salah satu karya cerpen yang sudah dialih-wahanakan berjudul “Mandikan Mayatku Dengan Tuak”. Cerita ini menggunakan seting budaya Madura yang kental dengan agama Islamnya. Sangat menarik cerita dan dialog-dialog yang ditampilkan. Ada kontradiksi antara wasiat nyleneh yang sudah diucapkan dengan norma-norma agama. Solusi masalah yang ditawarkan pun apik. Banyak hikmah kehidupan yang bisa diambil dari film ini.

Kolaborasi dua insan penulis dalam seminar menjadi inspirator bagi pegiat literasi di Sidoarjo untuk berbuat lebih banyak. Tidak hanya puas dengan menulis  tulisan ilmiah populer, puisi, cerpen atau novel saja. Tapi dari karya sastra yang sudah dibuat bisa dialih-wahanakan menjadi karya yang lebih kreatif lagi, yaitu film. Tips dan trik untuk memasarkan buku juga disampaikan. Berikut bagaimana para penulis harus pandai-pandai dalam bernegosiasi untuk mendapatkan royalti dari hasil karyanya.

Seminar literasi kerjasama antara SPK, Dinas Dikbud Sidoarjo dan Unusida telah usai.   Top dan keren, kesan mayoritas peserta. Mulai dari panitia, tamu kehormatan SPK, narasumber, materi yang disampaikan, cara penyampaiannya, semuanya meninggalkan antusiasme untuk menggelorakan literasi di bumi Sidoarjo.  Bagi pegiat literasi yang bukan cerpenis ataupun novelis pasti bertanya-tanya, bagaimana sih cara membuat cerpen atau novel yang baik? Dan bagaimana kiat-kiat untuk menjadikan karya cerpen dan novelnya laku di pasaran alias menjadi best seller? Sedangkan bagi cerpenis atau novelis, seminar ini menjadi tantangan untuk mengikuti jejak mbak Key.

Tindak lanjut dari seminar ini perlu dipikirkan. Banyak cerpenis dan novelis yang lahir di Sidoarjo. Ada yang solo, ada yang tergabung dalam komunitas. Komunitas sastrawan yang tergabung dalam Dekesda (Dewan Kesenian Sidoarjo), FLP (Forum Lingkar Pena), Bait Kata Library, Sidosinau dan masih banyak lagi yang lain. Bila seluruh komunitas berkolaborasi untuk mewujudkan dan membumikan karya sastra, maka tidak mustahil akan bermunculan “Kirana Kejora” yang lain yang dapat mengharumkan nama Sidoarjo. 

Benih sudah disebar, tinggal dipupuk dan dipanen. Perolehan hasil tergantung pada individu masing-masing penulis. Tapi akan lebih banyak hasilnya bila ada campur tangan dari pimpinan. Dalam hal ini Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan yang senantiasa selalu memotivasi dan menggelorakan literasi dengan kebijakan-kebijakannya. Sekaligus juga para motivator dan penggagas literasi lain, yang ada di Sidoarjo ditunggu action-nya. Nach?!

Sidoarjo, 15 Mei 2024

Previous Post Next Post