Asah Talenta Hingga Ujung Senja (Bagian 1)


 Oleh: Suhartatik

Menjadi penulis bukanlah cita-cita. Meski sejak masih sekolah suka pelajaran Bahasa Indonesia, tak pernah terbersit di benak untuk bisa menulis apalagi menjadi penulis.

Sekitar tahun ’85-an saya suka nonton acaranya Pak Yus Badudu di satu-satunya televisi di Indonesia, yaitu TVRI (kala itu orang-orang di sekitar melafalkan dengan T-U-R-I). Acara Pembinaan Bahasa Indonesia yang dipandu oleh Pak Yus Badudu ini merupakan acara favorit saya waktu itu.

Banyak ilmu berbahasa Indonesia saya dapatkan dalam acara itu. Penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar selalu ditekankan di setiap episodenya. Bahkan penggunaan akhiran –ken yang kala itu sering digunakan orang nomor satu di Indonesia pun dibahas.

Masih ingat saat ujian, banyak soal yang pernah saya ikuti dalam acara Yus Badudu ini keluar. Ini cukup menggembirakan. Tidak sia-sia memanfaatkan acara televisi sebagai sarana belajar. Syukur alhamdulillah, nilai yang diberikan oleh Pak Pierno Widodo, guru Bahasa Indonesia saya di SMAN Sidoarjo cukup baik. (Waktu ini baru ada satu SMA Negeri di Sidoarjo).

Lulus SMA, perjalanan perdidikan saya tidak semulus yang saya harapkan. Tidak diterima di PTN, membuat saya sedikit kecewa. Sejak awal orang tua sudah menganjurkan agar masuk SPG, tetapi anjuran itu saya tolak saya lebih memilih SMA, karena saya tidak ingin jadi guru. Singkat cerita tidak diterima di PTN (UNAIR) jatuhnya ke IKIP PGRI Sidoarjo angkatan pertama.

Pada semester pertama, kampus menugaskan salah seorang mahasiswa untuk mengikuti lomba baca puisi. Nah, kebetulan yang ditunjuk itu saya. Ragu? Ya, karena sebelumnya tidak pernah ikut lomba baca puisi. Kalau baca di kelas waktu pelajaran di sekolah pastinya pernah. Tapi lomba di luar kampus?

Akhirnya seorang kawan menyarankan saya untuk datang ke seseorang yang piawai di bidang seni termasuk seni baca puisi. Namanya Maksum Anwar, seorang penulis cerpen terkenal di Jawa Timur, waktu itu cerpennya sebulan dua kali nongkrong di halaman Jawa Pos. Oleh Cak Sum, panggilan akrabnya, saya digembleng di kantor  PCNU, di Jalan KH Mukmin, Sidoarjo. Meski kemudian tidak menang, tetapi ilmu baca puisi tidak pernah saya lupakan.

Pertemuan dengan Cak Sum ini membawa saya mengenal dunia seni lebih luas. Pernah diajak mengadakan lomba foto, lomba menulis cerpen, lomba baca cerita, dan sebagainya. Di sinilah kemudian Cak Sum membentuk Sanggar Pena. Ada Mas Wawik (Nawawi Abdul Manan), yang sekarang menjadi Redaktur Tabloid PENA, ada almarhum Ikhwan Efendy, Sulaiman Syafak (Cak Sul) guru les Bahasa Inggris, Endang Kusniati, Zainal Abidin, dan lain-lain.

Beberapa tahun tidak ketemu mereka, hingga suatu ketika saya dapat kabar dari Cak Sul, bahwa Cak Sum meninggal. Sebelum akhir hayatnya Cak Sum sempat menjadi anggota DPRD Sidoarjo. Kemudian menyusul berpulang Ikhwan Efendy, guru sekaligus wartawan. Sebelumnya sesekali bertemu dengan Cak Ikhwan di STKIP, saat beliau meliput kegiatan di sana.

Pada dasarnya saya suka seni. Waktu kuliah, banyak kegiatan yang saya ikuti baik dalam kampus maupun di luar kampus. Menyadari bahwa gerakan tubuh kaku seperti laki-laki saya ikut menari di Delta Trivikrama pimpinan Mas Sutrisno Kasim. Tujuannya supaya tubuh lebih luwes. Berlatih menari bersama bocil sungguh menyenangkan. Tarian terakhir yang saya ingat adalah tari Roro Ngigel.

Mengikuti pelatihan M.C. di beberapa tempat, terakhir di RRI Surabaya bersama mentor Ibu Rika dan Bapak Sali Saleh. Yang seangkatan dengan saya pasti tahu, beliau adalah penyiar TVRI Surabaya. Mengikuti pelatihan Teater di Gedung Cak Durasim, Gentengkali, Surabaya, dengan pembina Anang Hanani, budayawan Jawa Timur. Bahkan, pernah ngemsi bareng Pak Anang saat Tasyakuran Wisuda mahasiswa IKIP Sidoarjo tahun 1990 di Gedung Delta Sinar Mayang, Sidoarjo.

   Menjadi juara M.C. tingkat kecamatan Sidoarjo dua kali, pertama ketika masih kuliah dan kedua ketika sudah menjadi guru di SMA PGRI 5 Sidoarjo. Bersama karang taruna kelurahan Pucanganom dalam Teater REKA, pernah mengisi acara sandiwara radio di RRI Surabaya selama 3 episode.

Menjadi pengajar di tiga tempat, STKIP PGRI Sidoarjo, SMA PGRI 5 Sidoarjo, dan SMP PGRI 10 Candi, kegiatan seni terhenti semua. Hingga pada tahun 2014 tinggal satu sekolah saja di SMP PGRI 10 Candi.

Di sekolah, saya coba kembali menumbuhkan literasi dengan mengajak anak-anak suka membaca dan menulis. Menulis apa saja yang ingin ditulis. Sedikit demi sedikit virus positif ini menular ke anak-anak. Anak-anak mulai suka menulis puisi, cerpen meski kategori jauh dari sempurna. Paling tidak anak-anak sudah mulai mau menulis.

Tidak ada hujan, tidak ada angin, badai menerpa. Pada tahun 2014, Jumat sore, saya dapat kabar kepala sekolah meninggal, padahal paginya masih ke sekolah. Sebagai wakil kepala sekolah, saya merasa panik dan tidak sanggup menerima kabar ini. Bagimana tidak, beliau guru saya SMP di SMPN 1 Sidoarjo waktu itu, dan pimpinan di sekolah, kini harus meninggalkan kami.

Namun, pendidikan harus terus berlangsung. Tanggung jawab harus dilanjutkan. Beberapa tugas harus diselesaikan. Akreditasi  sebentar lagi dan banyak yang harus dipersiapkan. Di tengah masa kerkabung, satu tragedi menimpa sekolah. Maaf, tragedi antar siswa, yang satu menghilangkan nyawa yang lainnya, yang mengharuskan pihak sekolah terutama saya pengganti kepala sekolah yang meninggal harus berurusan dengan pihak yang berwajib.

Dari peristiwa ini, kepercayaan masyarakat kepada sekolah mulai luntur. Apalagi waktu itu sistem zonasi mulai diberlakukan. Alasan sekolah tidak banyak menerima peserta didik saat PPDB menjadi komplit.

Di sini, saya berpikir keras, bagaimana menumbuhkan lagi kepercayaan masyarakat kepada sekolah? Berbagai upaya kami lakukan. Kegiatan menulis tetap dijalankan. Saya pun minta bantuan Pak Soegiarto untuk membina ekstra Jurnalistik, mengikuti Sekolah Adiwiyata, mengadakan pelatihan menjadi khatib sholat Jumat, dan lain-lain. Semua itu dilakukan dalam upaya mengembalikan nama baik sekolah.

Tahun 2016, seorang teman mengajak saya ikut pelatihan menulis dan katanya bukunya langsung diterbitkan. Selama menulis bersama Agung Webe, sorang trainer nasional dan penulis delapan buku motivasi, dalam Writing Camp selama dua malam tiga hari di Batu, diharapkan bisa menyelesaikan 1 buku. Memang bisa? Hehehe…

Dalam tiga hari itu yang saya dapatkan baru beberapa halaman. Saya baca berulang-ulang, mengapa tulisan saya semua terkesan curhat. Mengapa bukan tulisan yang bisa menginspirasi orang lain? Ini saya sampaikan kepada Pak Agung.

Respon Pak Agung waktu itu, untuk mengawali jadi penulis jangan takut salah. Tulis saja semua yang ada di pikiran sampai tuntas. Setelah selesai, endapkan beberapa saat, sehari dua hari, bahkan beberapa hari. Setelah itu buka dan baca lagi. Lakukan pembenahan dan perbaikan di beberapa bagian jika perlu.

Dengan bimbingan Pak Agung selama kurang lebih tiga bulan, saya bersyukur akhirnya buku solo pertama saya terbit, berjudul “Makna Kehidupan”. Dari Sidoarjo, saya tidak sendiri, ada Bu Enri, guru seni SMKN Jabon, dan Mas Udin dari Sedati.

Kembali ke sekolah, alhamdulillah akreditasi berjalan lancar dan hasilnya A. Program Sekolah Adiwiyata terus berjalan meski pro dan kontra terjadi. Mengapa? Bisa dimaklumi karena biaya untuk sekolah Adiwiyata yang tidak sedikit sementara sekolah butuh dana banyak di era siswa yang semakin sedikit.

Dalam benak saya, Sekolah Adiwiyata bisa mengembalikan nama sekolah yang tercoreng noda hitam. Dan, benar. Gelar Sekolah Adiwiyata tingkat kabupaten pun kami raih. Kelamnya sekolah bisa disinari cahaya sekolah berbasis lingkungan ini. Sekolah jadi sejuk dan wali murid yang datang senang dengan situasi ini.

Pada kesempatan lain, sekolah mengikuti Siedex 2018. Terdapat beberapa lomba dalam Siedex, dua yang kami ikuti, lomba menulis opini untuk guru dan siswa serta lomba Guk-Yuk. Ini kesempatan baik yang tidak boleh dilewatkan.

Lomba Guk-Yuk, di samping penampilan lomba ini juga butuh kemampuan intelektual, yaitu pengetahuan tentang daerah Sidoarjo dan sekitar. Di sini anak-anak dilatih untuk mandiri dan percaya diri. Bangga melihat anak-anak berani tampil dan bisa melewati masa-masa penjurian.

Suatu ketika saya harus melatih anak yang akan lomba menulis bersama Pak Giek. Namun, di waktu yang sama saya juga diundang teman untuk mengikuti kegiatan Seminar yang diselenggarakan  oleh FLP (Forum Lingkar Pena) di Salina Hotel Syariah yang letaknya di Jalan Yos Sudarso no. 37 Sidoarjo. Selesai kegiatan di sekolah, agak dipercepat sih, langsung meluncur ke lokasi undangan.

Masuk ruangan, saya melihat seorang pemuda berbicara di depan audiens. Pesertanya dari muda hingga dewasa (saya tidak mengatakan tua, sebab saya sendiri tidak suka dikatakan tua, hehehe). Saya perhatikan cara bicaranya, gayanya, materi yang disampaikan. Menarik! Karena terlambat maka tidak banyak yang bisa saya serap.

Di akhir penyampaian ada tugas yang harus ditulis peserta. Apapun boleh ditulis. Hasil tulisannya diupload ke Facebook dengan tagar X (maaf lupa tagarnya). Akan  dipilih satu tulisan peserta terbaik yang nantinya mendapatkan hadiah.

Sedikit memutar otak materi apa yang akan saya tulis plus baterai hp menipis. Akhirnya saya berdiri di pojok ruangan, menulis yang ingin saya tulis, sambil ngecharge baterai, kemudian mengumpulkan tulisan pada batas akhir waktu yang ditentukan. Pada akhir acara diumumkan penulis terbaik, yaitu Tik_Lk.

“Hah, itu punyaku!” seruku dalam hati. Senang, haru bercampur jadi satu. Satu sisi saya benar-benar ikhlas membina anak-anak menulis, sisi lain saya juga ingin mengembangkan kompetensi saya. Saya pun akhirnya mendapat hadiah buku berjudul “Prejengane Kutho Soroboyo” karya 18 penulis Surabaya, diantaranya Ibra Maulana, yang memberi hadiah ini.

Lomba menulis di Siedex hampir tidak jadi saya ikuti, sebab sampai waktu akhir pengumpulan, naskah belum jadi. Pagi, saat rapat koordinasi KS bersama Pak Tirto, beliau mengatakan masih ditunggu hari ini sampai pukul 15.00 WIB. Saat itu juga, saya mohon izin permisi pulang duluan untuk melanjutkan tulisan saya.  

Di depan komputer, pikiran saya melayang-layang menemukan kelanjutan ide yang sudah tertuang sebelumnya. Mendekati pukul 15.00 WIB tulisan baru selesai dan langsung saya gandakan.

Segera saya meluncur ke dinas dikbud, menuju ke ruang Pak Tirto, mengumpulkan naskah lomba. Saat itu berkesempatan bertemu langsung dengan Bapak Khoiri dari UNESA yang digandeng Dinas Dikbud sebagai juri dalam lomba menulis Siedex 2018.

Alhamdulillah artikel dengan judul “Dobrak Dunia dengan Ide Emasmu” masuk sepuluh besar, di antara 9 karya peserta lainnya. Ada Pak Giek, penyemangat saya, Bu Lilik Masruchah, Bu Wanti, dan beberapa yang baru ketemu saat sesi presentasi. Namun, gelar juara belum saya dapatkan.

Momen itu menggugah saya untuk lebih banyak belajar. Lebih semangat mencari ilmu dari manapun, dari siapapun, dan dari berbagai sumber yang bisa meningkatkan keterampilan saya dalam menulis.

Masih banyak momen yang mengiringi perjalanan hidup saya. Mau tahu kisahnya? Ikuti episode berikutnya. Salam literasi dan sukses untuk kita semua. (Bersambung)

Semangat belajar, semangat berkarya, semangat menebar kebaikan.

Life Long Education – Life Long Learning

(John Dewey)

 

 

Biodata Penulis

Dra. Suhartatik, S.Pd., M.Pd.

Asal instansi: SMP PGRI 10 Candi

Email          : suhartatik.16111965@gmail.com

 

 

 

 

Previous Post Next Post