BECOME AN OFFICIALS WRITER (1)

Oleh: Ng. Tirto Adi MP.


KETIKA mendengar, kalau awal 2012, saya dilantik sebagai pejabat eselon IIIB, Kepala Bidang Pendidikan Menengah (Kabid Dikmen) Dinas Pendidikan Sidoarjo yang membawahi jenjang SMP, SMA, dan SMK, seorang sahabat, dosen PTN di Surabaya bertelepon kepada saya. Sahabat tadi memberikan ucapan selamat dan diakhiri dengan pertanyaan  “mas Tirto setelah jadi pejabat nanti, kira-kira hobi menulisnya apa masih bisa dijalani?” “Semoga masih bisa mas”, jawab saya tegas, meyakinkan. Sahabat tadi bercerita, banyak teman-temannya yang sebelum jadi pejabat sebagai penulis produktif dan ketika menjadi pejabat, produktifitasnya menurun drastis bahkan ada yang tinggal dalam kenangan. 


Menjadi pejabat eselon, memang fokus pekerjaannya tidak lagi terkait hal-hal teknis tapi telah mengarah pada ranah strategis mulai dari planning, pengambilan policy, penyusunan program atau kegiatan. Meski dalam hal tertentu, sebagai pejabat yang ideal juga tidak ditabukan untuk menguasai hal-hal yang bersifat teknis. Kecuali itu, jika saat menjadi kepala sekolah (sebelumnya sebagai Kepala SMPN 3 Sidoarjo, 2010-2012) lingkup pengabdiannya di tingkat sekolah, tetapi kini (baca: saat itu) sebagai Kabid Dikmen wilayah khidmat-nya menjadi meluas melingkupi area kabupaten.


Pada awal-awal menjalani tugas sebagai Kabid Dikmen, memang waktu banyak tersedot untuk gercep (gerak cepat) beradaptasi dalam penguasaan dan pendalaman tugas pokok dan fungsi (tupoksi). Belum lagi jika harus menjalani tugas mewakili pimpinan (Kepala Dinas atau Sekretaris) untuk sebuah acara seremonial kegiatan maupun pemantapan program di tingkat sekolah maupun kelompok kerja atau (term sekarang: kombel, komunitas belajar). Di jenjang pendidikan menengah, selaku Kabid Dikmen juga perlu turun memberikan penguatan dan menyapa kombel macam MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) maupun MKKS (Musyawarah Kerja Kepala Sekolah) di tiga jenjang, yakni: SMP, SMA, dan SMK. 


Jujur saja, pada awal-awal menjalani tugas sebagai Kabid Dikmen, habituasi untuk aktifitas khususnya menulis sempat tersendat (beruntung aktifitas membaca masih terus menyala), meski tidak terlalu lama untuk memulihkannya. Ada beberapa hal yang menjadi pemantik, mengapa habituasi menulis itu kembali pulih. 


Pertama, motivasi ekstrinsik ketika bertemu dengan kolega/rekan kerja di berbagai tempat dan selalu bertanya: “Bapak, tulisannya mana, saya pembaca setia tulisan-tulisan panjenengan loh”. Pertanyaan-pertanyaan itu acapkali menjadi “amunisi” baru atau dalam bahasa filsuf Prancis Henri Bergson (1859-1941) disebut sebagai “elan vital” yang membangkitkan kembali semangat menulis saya, pada waktu itu. Karenanya, niat berbagi dengan spirit saling memberdayakan kepada sesama terpenuhi ketika tulisan atau artikel saya dimuat di harian Jawa Pos, Bhirawa, majalah Media, tabloid Pena maupun media lainnya.


Kedua, keajegan menulis juga cepat terpulihkan ketika saya mengingat-renungkan kembali materi-materi motivasi menulis yang acap saya sampaikan di berbagai forum, yang saya sebut sebagai “kredo menulis mudah”, dengan akronim: Mi-Kua-De-P-L-A-R. Ada trik atau kredo, agar menulis menjadi mudah. Berawal dari membangun mindset atau pola pikir untuk meyakinkan diri bahwa menulis itu memang mudah! Lakukan dengan kredo Mi-Kua-De-P-L-A-R. Tulislah apa yang Anda Mi nati. Tulislah apa yang Anda Kua sai. Tulislah apa yang Anda Dengarkan. Tulislah apa yang Anda Pikirkan. Tulislah apa yang Anda Lakukan. Tulislah apa yang Anda Amati. Dan, tulislah apa yang Anda Rasakan. 


Dengan begitu menulis tidak lagi menjadi sulit, karena apa yang Anda tulis begitu dekat dengan diri Anda sendiri. Mengokohkan “kebiasaan MAYD-2 (menulis apa yang dilakukan dan melakukan apa yang ditulis)”, bisa membudaya pada diri kita sebagai seorang penulis sejati. Tanggung jawab moral sebagai seorang narasumber atau motivator menulis adalah sungguh tidak elok jika kita hanya bisa menyampaikan, memberikan dorongan untuk menulis tetapi di balik itu kita sendiri tidak melakukannya, apalagi tidak pernah menghasilkan sebuah tulisan.  

 

Ketiga, bergabung dalam komunitas literasi. Tidak dipungkiri, semangat membaca-menulis terkadang pada waktu tertentu bisa menurun. Itu manusiawi, tidak masalah. Yang jadi masalah adalah semangat membaca-menulis yang menurun itu kita biarkan hingga sirna, tidak ada lagi keinginan untuk membaca-menulis. Ketika semangat membaca-menulis itu menurun, berkumpullah dengan orang-orang yang semangat membaca-menulisnya tetap menyala. Masuklah kombel atau komunitas literasi, karena dari circle pertemanan yang memberikan atmosfer positif itu, bisa mengembalikan energi yang sempat hilang itu, untuk kembali menyala menjadi gemar membaca-menulis. 


Benar, nasehat Jeff Keller (2022) dalam bukunya “Attidude is Everything”, dari circle pertemanan yang tepat dapat mempengaruhi kesuksesan seseorang. Teman yang baik, dapat mempengaruhi terhadap komunikasi dan sikap perilaku seseorang. Bersyukur saya berada di tengah-tengah komunitas literasi nasional SPK-Sahabat Pena Kita dan GBL-Gerakan Budaya Literasi Sidoarjo, karena komunitas itu merupakan tempat berkumpulnya orang-orang hebat yang menjadikan membaca-menulis sebagai jalan dakwah dalam menebarkan kebaikan. 

 

Keempat, selalu terngiang dengan pesan atau pidato inspiratif Kaisar Titus (39-81 M) di hadapan Senat Romawi dalam bahasa Latin: 

 “ Verba Volant, Scripta Manent”. 

Artinya, “segala yang terucap akan menguap, semua yang tertulis akan tetap ada”. Kalimat Titus ini, bagi saya sungguh sangat menginspirasi. Betapa tidak?! Karena, hal apapun yang kita kerjakan, sesibuk apapun kita beraktifitas, sepadat apapun kita menjalankan agenda kegiatan, jika tidak dikunci dan diakhiri dengan sebuah karya atau tulisan, sepertinya padatnya agenda kegiatan dan kesibukan yang bertumpuk itu seakan lewat begitu saja, tidak akan menyisahkan legacy apalagi milestone. Ya, tidak akan ada “harta peninggalan” atau “warisan” yang bisa kita tinggalkan kepada generasi berikutnya. Sungguh teramat sayang jika apa yang kita lakukan, produk yang kita ciptakan itu seakan sirna, tidak diabadikan dalam bentuk “tonggak-tonggak pencapaian”. Bukankah begitu?! (Bersambung)


BIODATA PENULIS: 


Ng. Tirto Adi MP adalah Doktor Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Malang (2013). Penulis (lebih dari 250-an artikel terpublikasi) dan Trainer (lebih dari 270-an forum ilmiah) KTI, Manajemen Sekolah dan Pembelajaran Inovatif, diantaranya: Speaker pada Educators Conference on Financial di Putrajaya, Malaysia (2018) & Pembicara Publik (Narsum) pada Seminar "Penyiapan SDM Unggul" UPBJJ-UT Surabaya di Gedung ACC Unair Surabaya dengan audience lebih dari 1.000 peserta. 


Studi Visit Manajemen Sekolah dan Pembelajaran Inklusi di Perth, Australia Barat (2014), Manajemen Sekolah dan Kesiswaan di Osaka, Jepang (2015), Manajemen Sekolah dan Pembelajaran Vokasi di Thailand (2015) dan Vietnam (2016). 


Peraih 29 penghargaan/kejuaraan tingkat Kabupaten/Provinsi/Nasional, diantaranya: Juara 1 LKTI Tk Nasional, Integrasi Imtaq-Iptek (2001) & Juara 3 Kepala Sekolah (SMP)  Berprestasi Tk Nasional (2008). 


Pengarah/Koordinator Gerakan Budaya Literasi Sidoarjo, telah menulis 32 buku (Solo dan Antologi), diantaranya buku: A Good Leader Is A Good Reader :[Jejak Pemikiran dan Inspirasi Penggerak Literasi] (Penerbit Pagan Press, 2018) & Sense of Culture [Spektrum Pemikiran dalam Pemajuan Kebudayaan] (Nizamia Learning Center, 2020). 


Penerima anugerah “Bapak Literasi Sidoarjo” dari Harian Bhirawa (12 September 2022) dan “Tokoh Penggerak Literasi Sidoarjo” dalam ajang Radar Sidoarjo Award (2023). Buku biografi-nya berjudul “Membingkai Mimpi, Menuai Harapan” telah diterbitkan PT Bumi Aksara Jakarta (November, 2023).


Mantan Kepala Bidang Pendidikan Menengah (2012-2017) & Sekretaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Sidoarjo (2017-2020). Kepala Dinas Sosial Kabupaten Sidoarjo (2020-2021). Dan kini: Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sidoarjo (2021–sekarang).


The Founder Model Sekolah Literasi Indonesia (MSLI) Yayasan Tamaddun Afkar Sidoarjo-Jawa Timur.

Previous Post Next Post