Seseorang akan disebut pemimpin manakala terdapat 3 hal yang melekat dalam dirinya. 1. Pengikut (Followers); 2. Pengaruh (Influence); dan 3. Kekuatan untuk menggerakkan dengan influence yang dimilikinya.
Terkisah sebuah cerita Maharaja yang akan turun tahta. Waktunya untuk memilih penerus tahta yang diharapkan mampu menjadi sosok pemimpin berikutnya. Ada 2 putra yang baik hati, namun belum teruji kemampuan memimpinnya. Akhirnya, sang Raja pun memberikan sebuah sayembara. Beliau memberikan beberapa keping uang untuk dibelikan sesuatu yang berguna dalam kepemimpinan mereka yang terpilih nantinya.
Selang beberapa waktu, mereka berdua kembali dengan membawa sesuatu. Si sulung membeli pena. Raja pun bertanya: “Untuk apakah gerangan pena itu anakku?” si sulung pun menjawabnya dengan lantang. “Untuk mencatat semua kebijakan yang akan berguna bagi kerajaan ini.” Mendengar jawaban itu, sang Raja pun menganggukkan kepalanya.
Giliran si Bungsu menjelaskan benda yang dibawanya. Dia menunjukkan sebuah lilin. “Untuk apa lilin itu anakku?” tanya sang Raja. Si Bungsu menutup semua jendela dan membiarkan ruangan gelap. Dinyalakanlah lilin tersebut sambil berkata, ”Aku membeli lilin ini, untuk selalu mengingatkanku untuk menjadi seorang pemimpin yang baik. Jika tak mampu menjadi matahari, maka setidaknya aku menjadi lilin yang memberikan cahaya bagi sekelilingku.”
Lebih lanjut dia katakan, “Pemimpin yang baik haruslah menjadi seperti cahaya yang menerangi dalam kegelapan. Menjadi pelita yang mampu menunjukkan jalan kebenaran, seorang panutan, dan rela berkorban hingga terbakar habis layaknya lilin, demi memberikan penerangan bagi sekeililingnya.”
Lalu, kemudian apa yang bisa kita petik dari hikayat tersebut? Iya, untuk menjadi pemimpin haruslah inspiratif. Pemimpin sejatinya bukan BOS yang untuk dilayani, melainkan siap melayani dan menjadi penerang bagi kegelapan pengikutnya. Seorang pemimpin yang inspiratif akan mampu meningkatkan kekuatan pasukannya berkai-kali lipat. Sebaliknya, pemimpin yang lemah justru melemahkan pasukannya. Alexander The Great mengatakan:
“Saya tidak takut pada pasukan singa yang dipimpin seekor domba. Saya takut pada pasukan domba yang dipimpin oleh seekor singa.”
Itulah sebabnya, mengubah mindset tentang kepemimpinan itu penting. Bahwa sejatinya pemimpin adalah pelayan dan bukan dilayani. Apalagi di zaman kepemimpinan dengan followers dari kalangan generasi Z dan generasi milenial yang jamak dianalogikan dalam generasi malas, kurang determinasi, dan tidak setia. Memimpin barisan muda memang penuh liku, jamak kita temui pemimpin generasi X mengeluh dengan karakter muda ini.
Pemimpin tidak bisa mengubah karakter followersnya. Sebab, itu di luar kendalinya. Namun, pemimpin dapat mengubah gaya kepemimpinannya. “Mengajak dan bukan memaksa”. Karena generasi muda, takkan menoleransi pemimpin yang berlagak seperti BOS. Loyalitas generasi muda terletak pada kepentingan mereka.
Sedangkan generasi X terletak pada perusahaan atau instansi yang dipimpinnya dan dikenal tanpa batas. Oleh karenanya, berhenti menjadi BOS yang minta dilayani, namun mulailah menjadi teman yang akan bergerak bersama menciptakan sebuah peradaban yang berdaya.
Majulah peradaban kita dengan pemimpin-pemimpin inspiratif dan visioner.
Inspirasi pagi kanggo Nuturi Awakku Dewe.