Impian Sekolah Pertamaku di Wonoayu


Oleh: Insiyah

Menjadi guru adalah impianku sejak kecil, dalam bermain pun saya selalu berperan sebagai guru, dan itu terus bertumbuh dengan berubahnya jaman, akhirnya jadilah seorang guru tahun 1994 di TK Dharma Wanita Sekardangan Sidoarjo.

 Setelah menjadi seorang guru saya baru sadar, bahwa hal yang tersulit menjadi seorang guru bukanlah mengajarkan materi pelajaran, akan tetapi hal tersulit adalah mendidik akhlak dan adab para murid. Menjadi guru ternyata melelahkan juga butuh kesabaran seluas samudra untuk menjalaninya, namun satu hal yang terus saya ingat wejangan ibu 

“Seng sabar nek mulang nduk, sopo ngerti ono seng iso narik awakmu nang suwargo soko dungane murid-muridmu”

(yang sabar kalau mengajar nak, siapa tahu ada yang menarikmu ke surga, dari doa murid-muridmu) 

Tepat awal Juli 2002 saya mengajar di SDN keboansikep 3, berawal dari mengajar bahasa Inggris, saat itu guru SD harus sekolah di PGSD maka saya mengajukan beasiswa belajar di UT dan setelah selesai belajar diberi amanah menjadi guru kelas.

Tahun 2016 mengikuti tes guru prestasi mewakili SDN Keboansikep 1 kec. Gedangan kemudian masuk di 5 besar dari 20 peserta, itu sudah sangat luar biasa bagi saya karena ini pertama kalinya mengikuti ajang pencarian guru prestasi. Dari kegiatan Gupreslah sebagai titik awal saya mulai berubah tidak mau menjadi guru yang biasa-biasa saja. Dengan banyak membaca berguru pada siapapun agar bisa berubah dalam mengajar yang lebih baik.

Awal tahun 2017 seorang sahabat ibu khoirunnisa mengajak bergabung untuk menulis dan berkarya dalam bidang literasi. KAMS Komunitas Aktif Menulis Sidoarjo, dengan sepuluh Srikandi di gawangi bu khoirunisak, ada 8 buku antologi yang sudah terbit, berbekal bimbingan dari bu khoirunisak  yang luar biasa bersama KAMS sehingga mampu meng ilhami untuk berkarya dalam bidang literasi.

Moment lebaran tahun 2018 KAMS bertandang ke kediaman Bpk Tirto Adi selaku sekretaris dinas pendidikan saat itu, beliau sangat konsen dengan literasi dan ada pesan yang tak pernah terlupakan  

“ KAMS harus jadi pelopor literasi di sekolah dan setiap dari kami di harapkan bisa menjadi kepala sekolah, dari pucuk pimpinan lah yang akan meneladani serta mengembangkan literasi”

pesan itu mengilhami kami tujuh dari sepuluh anggota KAMS menjadi kepala sekolah.

11 februari  2019 saya menerima SK kepala sekolah dan berdinas di SDN Mulyodadi Wonoayu, area persawahan hijau nan asri membawa suasana  teduh nan damai, pohon mangga berderet rapi di halam sekolah dan bangunan yang mencolok ada lukisan strowberi merah itu gedung perpustakaan, bangunan paling tinggi diantara yang lain itulah gambaran sekolahku di desa.

Tidak menunggu lama saya langsung action apa saja tugas seorang pimpinan di sebuah lembaga, tak lupa saya sisipkan ide-ide literasi yang saya sesuaikan dengan alam pedesaan yang ada. Perpustakaan yang besar mentereng ternyata tak membuat anak-anak tertarik untuk memasukinya, padahal koleksi bukunya luar biasa banyak dan bagus karena sekolah ini sudah bekerjasama dengan LSM Mutiara Rindang yang bergerak dibidang Literasi.

Berfikir sejenak, bila anak-anak tidak mau mendatangi buku maka buku lah yang akan mendatangi mereka dengan cara apa? Setelah berkeliling saya menemukan ide untuk membuat POLITERA (pohon literasi) memanfaatkan pohon mangga yang rindang, hampir setiap depan kelas ada pohonnya dengan cabangnya yang pendek memudahkan anak-anak untuk menaikinya kala istirahat berlangsung.

Pohon literasi cukup mencantolkan buku-buku di setiap cabangnya dan siswa bebas membacanya kala istirahat berlangsung. Alhamdulillah anak-anak mau membaca di bawah pohon yang rindang sambil menikmati jajanan sekolah. Kegiatan membaca jadi asyik dengan hembusan angin sepoi-sepoi mereka  membaca duduk  di atas pohon. Buku yang ada di politera diganti setiap 3 hari sekali agar anak-anak tidak bosan, moment-moment mereka membaca buku diatas pohon menggelitik untuk diabadikan, tanpa sengaja foto itu saya bagikan ke mbak Ola team dari mutiara rindang, ternyata menarik perhatian mereka dan memposting di media room to read, dari foto-foto itu menarik perhatian Bank Dunia yang akan berkunjung ke sekolah kami.

Segala persiapan kami lakukan, qodarullah tepat hari yang telah ditentukan terjadi lockdown akibat pandemi corona. Anak-anak belajar dari rumah, seminggu dua minggu keadaan belum pulih, sebulan berikutnya saya mempunyai ide untuk membuat buku kumpulan puisi tentang harapan corona segera berlalu di tulis oleh siswa kelas 1-6,seluruh dewan guru, wali murid,komite dan pak lurah. Semua antusias membuat puisi bahkan kata pengantar dari pak lurah buku yang bertajuk “Bumi merefresh diri” hikmah dibalik corona. Masa pandemi tak harus berhenti berkarya, di tengah wabah pandemi kami melaunching karya pertama kami.

Satu tahun berlalu wabah corona tak kunjung berlalu, buku kedua kami luncurkan kumpulan kisah,keresahan kami tentang nasib kami, sekolah kami saat ini (dibaca saat itu) maka kami himpun dalam penulisannya, kali ini pak lurah dan stake holder sangat mendukung dan hasilnya luar biasa, menguras air mata buku tersebut bertajuk “Mengarungi Badai Pandemi”.

Tahun kedua wabah pandemi benar-benar hebat, segala bidang lini kehidupan terdampak, begitu pula bidang pendidikan guru harus bergerak berinovasi untuk pendidikan, kami tak mau dua tahun menjadi loss generation tak berbuat apa-apa, serasa mati gaya. Beruntunglah saya punya sahabat dan teman-teman yang selalu mendukung dan bapak Tirto Adi terus mensupport kami agar tetap bertahan dan berkarya.

Banyak komunitas yang saya ikuti, belajar menulis secara daring dari Media guru, KMO (komunitas menulis Online) dengan Sarkat nya yang hampir setiap pagi setor tulisan minimal 250 kata, sehingga bisa membuat buku online the Miracle of leadership. 

Menjaga agar tetap konsen menulis tentunya dengan banyak membaca,mendengar dan melihat apa yang terjadi disekitar kita. Karena saat itu saya di posisi netral gigi satu saja belum masuk, maka perlu cambuk untuk membangkitkan gairah menulis.  Ada satu webinar kopdar SPK 5 kala itu pematerinya adalah Habiburrahman L sirashi (kang Abik) penulis buku yang fenomenal ayat-ayat cinta, dengan tema” Literasi untuk mengabadi dan mengabadi”  kalimat pembuka yang dikutip dari Ulama besar Al Ghazali 

“Jika kau bukan anak raja, juga bukan anak ulama besar maka menulislah!” 

 sebuah quote  yang melecut semangat saya, mengingatkan kembali sosok bapak Tirto Adi yang selalu  menanyakan “sudah berapa buku yang ditulis,Bu”. 

Setelah pandemi berlalu, karya antologi bermunculan Alhamdulillah walau terseret terseok-seok masih menulis, dan harus tetap membimbing menyemangati bapak ibu guru untuk menulis, Karya antologi anak-anak SDN Mulyodadi kumpulan cerita  “ Sekolah yang seru” aku anak yang riang  belajar.

Quote yang melekat dari Sayidina Ali Bin Abi Thalib “ Ikatlah ilmu dengan menuliskannya”.


(Kebonagung,040524. 04:30)


Biodata Penulis:

INSIYAH,S.Pd.SD, Kepala Sekolah SDN Karang puri 1 Wonoayu


Previous Post Next Post