Pelajaran Berharga dari Anjal

 

Sumber foto: https://jabar.tribunnews.com/

Oleh: Didik Winarko

     Keterlibatan dalam penggalian data penyebab DO (Drop Out) pada jenjang SMP/MTs merupakan salah satu pengalaman yang berkesan bagi saya. Program kerjasama antara pemerintah dengan USAID DBE-3 ini melibatkan perwakilan District tariner dari beberapa propinsi di Sumatra, Jawa, Sulawesi, dan Maluku.

Pertengahan November 2006 saya mendapat undangan mengikuti kegiatan bertajuk “Pelatihan untuk Pelatih Konsultasi Remaja” yang diselenggarakan di Jakarta. Saya dan keempat rekan lain terpilih mewakili DBE-3 Jawa Timur. Keempat rekan tersebut berasal dari Kabupaten Tuban, Kabupaten Bangkalan, Kota Mojokerto, dan Kota Surabaya. Saya mewakili kabupaten Sidoarjo. Kami berlima adalah guru SMP dan MTs (negeri maupun swasta).

Singkat cerita, keesokan harinya kami berlima mendapat pembekalan selama dua hari di Tretes, Pasuruan. Seminggu kemudian, kami berlima didampingi seorang perwakilan Save the Children dan satu rekan pengurus DBE-3 Jawa Timur terbang ke Jakarta.

Selama empat hari berkegiatan di Jakarta, kami mendapat pengalaman dan keterampilan yang berharga, sekaligus menguras energi. Kami berlatih memanfaatkan media gambar untuk kegiatan FGD (Focus Discussion Group) konsultasi remaja serta cara pengumpulan datanya. Praktik FGD kami laksanakan di lembaga pendidikan formal dan lembaga pendidikan nonformal di Karawang, Jawa barat. Di akhir kegiatan, kami diajak belajar menganalisa data dengan menggunakan analisis statistik sederhana. Maka, tidak salah jika pada sesi ini saya membayangkan seolah saya kembali menjadi mahasiswa yang “dipaksa” menguasai metode analisis regresi dan lainnya untuk menyelesaikan skripsi atau tugas akhir yang tidak kunjung selesai.

Seusai pelatihan, kami diwajibkan melaksanakan tindak lanjut berupa kegiatan FGD konsultasi remaja di propinsi masing-masing. Hasil yang diperoleh akan dijadikan bahan simposium nasional terkait dengan masalah dan penyebab drop out sekolah yang akan dilaksanakan di Surabaya.

FGD ini kami laksanakan di bulan November dan Desember 2006. Kami bekerja secara berpasangan (in pairs) dengan satu rekan berperan sebagai pengamat dan pencatat data. Saya mendapat tugas melakukan FGD di Bangkalan (SMP swasta dan MTs negeri); di Surabaya (satu SMP swasta, satu rumah belajar, dan satu PKBM); di salah satu MTs di kecamatan Baureno dan SMP negeri di Bojonegoro kota; serta di salah satu MTs swasta kota Mojokerto. Rekan satu tim yang berasal dari Surabaya dan Mojokerto mendapat tugas di daerah Sidoarjo, Tuban, dan Pasuruan.

Semua hasil yang kami peroleh kemudian dikumpulkan dan dianalisis dengan pendekatan ststistik yang telah kami pelajari pada pelatihan di Jakarta. Seluruh rangkaian proses ini kami lakukan selama tiga hari dengan didampingi oleh rekan dari Save the Children. Hasilnya kami susun menjadi laporan penelitian lapangan yang cukup tebal.

Satu hal yang selalu terkenang sampai sekarang adalah ketika melaksanakan FGD di rumah belajar dalam naungan yayasan Genta, yang berlokasi di Dukuh Kupang Surabaya. Pada saat itu, wilayah ini dikenal sebagai salah satu daerah lampu merah yang ramai. Di sela-sela antara jadwal FGD satu dengan FGD berikutnya, saya beserta teman dari Tuban dan Bangkalan ditawari kesempatan untuk ikut “mengajar” pada kelas yang ada. Sebuah kelas yang siswanya terdiri dari anak jalanan (anjal).

Ya, benar. Siswa yang akan kami dampingi dalam kegiatan belajar adalah para anjal yang semuanya adalah anak putus sekolah dengan berbagai latar belakangnya. Ada juga diantara mereka yang bahkan tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Usia mereka berkisar antara 14 hingga 18 tahun. Data ini kami peroleh dari hasil FGD kami. Mengamen di bus kota (dikala itu bus kota masih berfungsi), stasiun dan terminal, atau sesekali menjadi tukang parkir liar di lokalisasi adalah rutinitas mereka di saat tidak sedang belajar.

Selain itu, hal ini juga menjadi tantangan yang menarik karena kami harus mencari strategi mengajar yang sama sekali berbeda dari strategi yang biasa kami gunakan di sekolah formal. Kami berupaya mencari sebuah strategi pembelajaran yang fleksibel untuk dapat diimplementasikan dengan mudah. Kami berfikir bahwa kami harus bisa segera menyusun strategi tersebut untuk kegiatan pendampingan bagi mereka (para anjal).

Kami harus bisa memastikan materi atau keterampilan apa yang akan kami ajarkan. Karena kami bertiga adalah guru Bahasa Inggris, maka kami bersepakat untuk memilih keterampilan berbahasa Inggris yang bisa bermanfaat untuk “siswa” tersebut. Kami juga menentukan target sederhana yang ingin dicapai.

Ketika proses pendampingan berjalan, kami temukan satu hal yang mengejutkan dan membuat trenyuh hati kami, yaitu semangat belajar mereka yang menyala dan membara. Ini bisa kami rasakan dari sorot mata, ekspresi, serta bahasa tubuh mereka yang menunjukkan antusiasme belajar yang luar biasa. Meski bahasa komunikasi mereka terdengar “kasar”, tetapi kami merasakan kehangatan, kesantunan, kesopanan, dan ketulusan mereka saat berinteraksi. Kami juga merasakan ketangguhan, kepatuhan, dan keceriaan mereka selama proses pembelajaran berlangsung. Kami tahu bahwa sebagian dari materi yang kami anggap sederhana belum dapat mereka serap sepenuhnya. Namun, keinginan untuk menambah ilmu tetap terpancar dari perilaku dan keseriusan mereka selama kegiatan ini berlangsung.

Apa yang kami temui dan alami seakan menghapus bayangan stereotip yang bergelayut di benak kami bertiga. Bayangan bahwa para anak jalanan susah diatur dan tidak memiliki sopan santun serta berperilaku semaunya sendiri, serta bayangan menakutkan lainnya saat itu pun sirna. Kekawatiran yang semula membayangi kami berganti menjadi suasana yang menyenangkan sekaligus menyentuh nurani.

Bagi kami, ini merupakan sebuah suasana menyejukkan yang mampu membuat kami betah berlama-lama berada di tengah mereka. Apalagi harapan dari mereka yang ingin menjadi lebih baik membuat kami salut. Termasuk pernyataan mereka bahwa meski putus sekolah, tetapi mereka tetap ingin bisa memperoleh ijazah. Semua suasana ini mampu “memaksa” kami untuk menambah frekuensi pertemuan lagi secara sukarela. Dan pertemuan tatap muka pun menjadi dua kali dari yang semula direncanakan hanya sekali. Akhirnya, atmosfer semangat belajar dan ketangguhan yang sangat kental dari mereka pun kemudian tanpa kami sadari menyeruak masuk dan bersemayam di memori kami. Ada satu pelajaran berharga yang kami dapatkan dari mereka. Satu pelajaran yang sangat berkesan bagi saya pribadi.

Kegiatan mengajar, atau lebih tepatnya menemani para anjal untuk belajar ini membuat kami merasa “merdeka dalam mengajar”. Saya sempat menganggap mungkin apa yang kami alami adalah bagian kecil dari pendidikan yang memanusiakan manusia sebagaimana yang telah diimplementasikan oleh Romo Mangunwijaya pada sekolah eksperimental beliau di daerah Mangunan Jogjakarta. Atau bisa jadi, apa yang kami lakukan terpengaruh oleh pandangan Paulo Freire yang oleh sebagian orang dianggap “subversif”.

Pada saat itu kami diberi kebebasan untuk menentukan apa yang harus kami ajarkan, termasuk bagaimana cara mengajarkannya. Kami juga bebas memposisikan peran diri masing-masing selama mengajar. Namun, kebebasan ini bukanlah kebebasan yang tanpa batas. Kami, pada saat itu, menyebutnya dengan istilah bebas sesuai koridor.

Sekedar informasi, secara kebetulan kami bertiga berlatar belakang pendidikan Bahasa Inggris. Dan selama mengajar, kami menerapkan team teaching yang kami ramu sendiri, dengan peran masing-masing yang fleksibel sesuai kondisi di lapangan. Para anak jalanan yang ikut belajar pun bebas memilih topik dari tiga pilihan yang kami tawarkan. Mereka bisa memilih belajar dengan siapa dulu, lalu berlanjut belajar dengan “guru” yang lain. Dengan cara ini mereka bisa lebih nyaman belajar dan berteman dengan siapa pun dari kami bertiga selama pembelajaran berlangsung. Masing-masing dari kami bertiga mendapat jumlah “siswa” yang berimbang pada setiap sesi pembelajaran. Hal seperti inilah yang kami anggap sebagai bebas belajar-mengajar dan bebas sesuai koridor.

Lagi pula, proses pembelajaran yang kami laksanakan pada saat itu terasa seakan-akan kami sedang tidak mengajar, melainkan lebih terasa seperti jagongan atau lesehan (bahasa jawa) sambil menemani mereka sambil menjalin komunikasi santai yang gembira dengan teman atau anggota warga baru dengan ditemani segelas teh panas, camilan, serta sesekali diiringi petikan gitar dan okulele dari mereka (terutama ketika belajar Bahasa Inggris dengan menggunakan media lagu). Maka tidak salah jika pada saat itu saya membayangkan situasi yang saya alami ada beberapa kemiripan dengan suasana pembelajaran yang dijalani oleh Si Totto Chan-nya Tetsuko Kuroyanagi.

Saya membayangkan, seandainya di dalam semua kelas sekolah formal setiap hari persekolahannya diliputi atmosfer yang sama atau mirip seperti yang kami rasakan pada saat itu (baik dari siswa maupun gurunya), alangkah indahnya pendidikan di negara ini. Alangkah nyaman rasanya para siswa ketika berada di sekolah. Mereka pasti akan betah berada di dalam kelas atau sekolah. Demikian juga dengan para guru dan tenaga kependidikannya. Dan hasil keluarannya pun pasti akan luar biasa.

Bagaimana menurut pendapat anda?


Sidoarjo, 27 Mei 2024


Biodata Penulis


Didik Winarko, saat ini bertugas di SMPN 1 Waru dan pernah menjadi guru di SMPN 2 Sedati. Beberapa kali ikut menulis buku-buku antologi dalam genre yang berbeda bersama rekan guru yang senang menulis. Juga ikut menyumbang tulisan di beberapa buku antologi para siswa SMPN 2 Sedati. Buku Analekta Wiyata Kita yang terdiri dari kumpulan puisi pendidikan adalah karya tunggalnya. Alamat emailnya: wwinarko@gmail.com  

Previous Post Next Post