TERUS MELAJU TAK KENAL USIA

Oleh : Farida Hanum

             “Terus Melaju Tak Kenal Usia”, sebuah kalimat pemantik bagi diri untuk terus berkarya, melawan rasa malas dengan alasan factor “U”. Terkadang kita terbelenggu dengan kalimat, “Ora usah ngoyo, wes tuek wae” (jangan terlalu bekerja keras, sudah tua aja) atau kalimat “wes tuo, opo sing arep digoleki, ben sing enom wae sing berkarya” ( sudah tua, apa yang ingin kita cari, biar yang muda aja yang berkarya). kalimat yang sering kita dengar disaat kita bersua bersama teman-teman di jam-jam istirahat atau saat kita yang tua terlihat sibuk di depan laptop. 

Walhasil, kita memanjakan diri dengan tetap berada di zona nyaman, mandeg untuk berfikir yang serius, karena takut stress yang berakibat mengganggu kesehatan tubuh, atau terkadang rasa putus asa untuk belajar tentang hal-hal baru, akibatnya, menyerahkan yang muda untuk membantu menyelesaikan tugas-tugas rumit kita. Saat itu, kita baru menyadari bahwa apa yang kita dapatkan sebatas yang sudah kita lakukan.

            Sedikit berbagi pengalaman, mengapa kalimat pemantik di atas menjadikan kekuatan bagi saya untuk terus bergerak dan berkarya. Setiap momen apapun baik kompetisi ataupun kegiatan lainnya, saya selalu berada diantara guru-guru muda yang berbakat, guru-guru muda yang aktif dengan kekuatannya dalam ber-IT dan guru muda yang energik dengan kreatifitasnya menciptakan inovasi-inovasi baru. 

Seperti saat saya lolos di ajang Anugerah Guru Berprestasi tingkat Nasional pada tahun 2021, dimana saya benar-benar berada diatara para finalis bertalenta dengan segudang prestasi dan karya inovasi yang mereka bawa. Insecure itu sudah pasti, karena hanya hitungan jari finalis yang berusia di atas 50 tahun, termasuk salah satu diantaranya adalah saya. Setiap finalis terlihat begitu percaya diri, hal itu bisa dilihat dari gesture tubuh, sikap dan perilaku mereka, saat mereka berbicara dengan sesama finalis atau berdiskusi bersama pembina mereka. 

Beda dengan saya, meskipun didampingi Pembina, tetap saja secara mental dan kemampuan harus prepare sendiri (Pembina yang lebih muda sungkan jika harus menggurui kita, itu pendapat mereka para Pembina yang mendampingi kita).

            Keberuntungan dipihak saya, saya berada di urutan pertama uji karya (presentasi karya inovasi) dan wawancara di depan dewan juri. bagi saya itu modal awal untuk menunjukkan kepada yang muda bahwa saya juga patut diandalkan (hehe, sedikit menyombongkan diri). Dan benar saja, saya bisa membuat finalis lainnya “keder” dengan penampilan saya yang tenang dan tetap tersenyum saat keluar dari ruang dewan juri. 

Malam harinya, saat penganugerahan guru dan tenaga kependidikan berprestasi diumumkan, saya tidak terlalu berharap untuk bisa juara 1, bagi saya untuk bisa sampai di tingkat Nasional saja, suatu kebanggaan yang luar biasa, sedangkan untuk menjadi juara itu bonus dari Allah. Luar biasanya lagi, ternyata Allah memberikan bonus tersebut kepada saya. 

Saat nama saya disebut sebagai juara 1, saya benar-benar kaget, tak percaya dengan apa yang saya dengar. Guru tua bisa mengalahkan guru muda diajang bergengsi yang saya idam-idamkan dan mungkin diidamkan oleh banyak guru di Indonesia. Kemudian saat kami para juara dipanggil ke atas panggung untuk menerima penghargaan yang diberikan langsung oleh bapak Menteri Agama, seseorang di samping saya, finalis juara 2 dari Banten Jawa Barat, tetiba menceletuk, bertanya kepada saya, “Kok bisa sih Ibu juara1?”. 

Saya memandangnya sambil tersenyum, kok bisa-bisanya anak muda di samping saya ini meragukan kemampuan saya. “Mungkin takdir ya dik”, begitu saya menjawabnya enteng sambil tetap memberikan senyuman. Padahal sejujurnya, saat finalis terseleksi di tingkat Nasional, berarti mereka mumpuni dan jelas memiliki kelebihan dari mereka yang tidak lolos.

            Tak kalah dengan yang muda saya juga menciptakan karya inovasi berbasis digital (padahal tahun 2021, tidak banyak guru yang melek teknologi, saya sudah menciptakan aplikasi untuk pembelajaran), selain itu saya juga mengembangkan karya double game Silamon (traditional and digital) berbasis moderasi beragama, yang pada tahun tersebut awal pemerintah menggembar-nggemborkan gerakan moderasi beragama, kemudian ditambah dengan  beberapa buku ber-ISBN dan KTI yang dijurnalkan yang saya miliki itu juga menambah poin penilaian. Anggapan mereka yang muda, guru tua hanya menang di pengalaman lama bersama anak didik. Mereka tidak menyadari bahwa tidak semua guru tua unproduktif

Akhirnya dengan bangga saya bisa menerima penghargaan langsung dari pak Menteri Agama sekaligus bisa ber-swa foto dengan beliau. Bangga, tentu saja. Bukan karena bisa mengalahkan guru muda, namun bangga karena dengan kemenangan tersebut sebagai guru tua bisa menularkan ilmu berkompetisi kepada guru-guru muda lainnya, terbukti hingga saat sekarang ini, saya masih dipercaya kementerian Agama propinsi Jawa Timur, untuk menjadi mentor dan Pembina calon-calon guru berprestasi yang akan berlaga di tingkat Nasional.

            Tidak hanya peristiwa anugerah Gupres saja, kemampuan guru tua diragukan. Dalam finalis Anugerah Konstitusi tingkat Nasional, secara kebetulan saya juga masuk grand final. Biasanya yang pertama ditanyakan juri tentu saja nama dan asal daerah. Tetapi, beda dengan saya, yang pertama kali dipastikan adalah tentang usia saya, “Ibu benar usia 53 Tahun?”. Saya mengangguk dan menjawab “iya, kata “wow” spontanitas keluar dari mulut beliau. Entah itu kagum dengan usia saya atau terheran-heran karena sudah tua kok gak mau kalah dengan yang muda. Namun, saat presentasi karya inovasi pembelajaran yang saya tampilkan, ternyata mereka mengapresiasi dengan baik.

            Lain halnya, saat saya mengikuti International Conference Madrasah Reforms (ICMR), sebuah konferensi tingkat internasional, yang menyeleksi karya tulis ilmiah yang dipresentasikan dalam konferensi dan dipublish dalam jurnal berscopus. Naskah saya termasuk salah satu naskah yang lolos dan layak untuk di presentasi pada konferensi internasional. Ternyata saat pengumuman the best presenter, saya justru dinobatkan  sebagai penulis tertua dalam forum internasional tersebut. Benar-benar pengalaman yang luar biasa bagi saya, meskipun keberhasilan itu saya raih di saat usia sudah menua. Inilah sekelumit cerita tentang guru tua yang tetap eksis walaupun raga sudah tidak muda namun jiwa tetap berusaha menjadi muda, selama ilmu dan diri dibutuhkan, tetap akan berusaha menularkan ilmu dan menjadi influencer literasi dimanapun saya dibutuhkan.

              Menua itu sudah pasti, namun, saat masa tua bisa bermanfaat untuk sekitar, itu sebuah kebahagiaan. Menua tak bisa dielakkan, namun, saat masa tua masih mampu berkarya, maka tak ada kata menyerah untuk terus menggali potensi diri. So. “Terus melaju tak kenal usia” Quote –Hanum-

Previous Post Next Post