Wayang Kulit, Antara Tontonan dan Tuntunan

Oleh: Marsiman

Penggemar dan penikmat wayang kulit


Malam itu pentas wayang kulit dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun RI telah dimulai. Acara yang dihelat di lapangan  kecamatan itu dihadiri oleh ratusan bahkan mungkin ribuan penonton dengan menampilkan dalang kondang bergelar “Dalang Setan “ yakni Ki Manteb Sudarsono yang sangat terkenal dengan sabetannya. Bagi penonton dan penikmat pagelaran wayang kulit, dalang satu ini tidak asing lagi, sudah sangat dikenal, melegenda. Beliau wafat saat COVID-19 lalu. 

Pentas itu terasa lebih istimewa karena didukung oleh pelawak kondang Kirun CS, Marwoto, Yanti Pesek dan Ranto Edi Gudel. Sejak sore penonton sudah datang baik sendiri maupun bersama beberapa orang temannya. Penonton yang  terdiri dari para  pejabat Muspika (Pak Camat, Pak Danramil, Pak Kapolsek beserta jajarannya) dan undangan lainnya  sudah duduk di jajaran depan.  Para pejabat itu berbaur bersamabeserta masyarakat penikmat wayang kulit yang duduk di atas kursi belakangnya yang telah disediakan. Terob besar berjajar ke samping dan belakang menaungi mereka. 

Saking banyaknya penonton bahkan banyak yang tidak kebagian kursi, mereka duduk di bawah sambil bersila menikmati situasi penuh keakraban itu bersama penonton lainnya. Tak lupa makanan kecil dan minuman  air  mineral telah dibawa, siap menjadi teman mereka untuk mengikuti pagelaran semalam suntuk. 

Acara didahului dengan tabuhan gamelan oleh para pradonggo dipadu dengan gending-gending yang sangat terasa nikmat  didengar oleh penonton. Gending-gending yang dilantunkan oleh para waranggono demikian mendayu-dayu. Iringan gamelan begitu rancag terpadu manjadi satu orkestra musik tradisional yang menembus relung hati dan jiwa pendengarnya, sehingga walau harus begitu banyak yang duduk di atas tanah, tak jadi soal bagi mereka. 

Bunyi gamelan berhenti. Pranata Cara (MC) yang berpakaaian tradisional jawa lengkap dengan beskap, blankon dan keris terselip di pinggangnya berdiri di sebelah pojok kanan panggung, mulai membawakan acara. Disampaikan urutan acara, dilanjukan dengan sambutan Muspika yang daalam hal ini di”salirani dening’’ (dilakukan langsung oleh) Pak Camat. Setelah sambutan selesai dilanjutkan dengan penyerahan tokoh wayang “Wisanggeni” (lakonnya malam ini : Wisanggeni Kridha) oleh Pak Camat kepada Ki Dalang. Selanjutnya Ki Dalang naik panggung untuk memulai pagelaran. 

Jejeran

Setelah bunyi gamelan srepeg suwuk (berhenti) pertanda adegan awal wayang kulit dimulai) Ki Dalang  mengetukkan cempolo ke gedhok kotak wayang :

“Dhog-dhog-dhog dhogdhogdhog....’’disambut suara rebab disusul saron, centhe, demung, gender, bonang, dan kemudian seluruh gamelan yang bersautan mengiringi Ki Dalang yang mulai mencabut Kayon/Gunungan dan menggerakkannya ke atas, ke bawah kanan kiri berganti secara  berirama, seolah-olah roh yang sedang akan memulai “makaryo” memberi salam kepada para penonton untuk bersiap mengikuti jalannya cerita. 

Adegan berikutnya “Jejeran” menampilkan pasewagan di istana Hastina. Prabu Doryudono beserta para Priyagung sedang menerima tamu Prabu Manik Maninten dari kerajaan Parang Rukmi Saat memainkan wayang sesuai dengan gerak karakternya, Ki Dalang membersamai suluk (tembang): 

 “Ing Ngastina Maha Prabu Doryudaono

Oo oo oo oong

Alon angandika dhuh ariningsun werkudara

Oo oo ooong

Den kepereng kene

Paran pawartane Denira kepara ngarsa

                                                                     Marak Dhan Yhuang Durna 

Ooooo  ooo ooong”

Suluk  usai , gerak wayang berhenti, gending melambat, suara gamelan mengecil, saatnya Ki Dalang  membeber ontowecana (Prolog): 

        “Reeb surdhata pitana. Anenggih nagri pundhi ta kang ka eka adi dasa purwa. Eka maring sawiji, adi linuwih, dasa sapuluh purwa maring kawitan. Senajan ta kahtah titahing Gusti ingkang sinangga ing pratiwi, kaungkulan ing akasa, kapipit samudra ukir gunung parandene kathang ingkang samia anggana raras. suprandene ora kaya kang pinangka pambukaning carita”. 

 “Pinangka pambukaning carita, mula ora jeneng mokal menawa ngupaya sewu datan jangkep sedasa, nggolek satus dhatan antuk sajuga. Negara kang panjang pocapane, punjung luhur kawibawane, jembar jajahane, gedhe obore, dhuwur kukuse, padhang jagate, adoh kuncarane. Praja kang gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharjo. Loh subur kang sarwo tinandur, jenawi murah kang sarwa tinuku.

Kahananing nagri ngungkuraken pasabinan, ngeneraken pegunungan, amangku bandharan ageng.  Tebih saking parang muka.  Pating saliwer kapal dagang lelayaran tan ana pedhote inggih awit saking tan ana sangsayaning margi. Mboten ngemungaken tanah Jawi, sanajan saking njawi rangkap samiya tumungkul mboten karana kasor paperangan, namung amargi kayungyun dhumateng luhuring kaumaten Sang nata ingkang berbudi bawa leksana lan saking raharjaning nagri. Ingkang celak samiya anganglung, ingkang tebih padha timiyung asok glondhong pengareng-areng, peni-peni raja peni, guru bakal guru dadi.

Kawontenanipun  nagri Jejel apipit tepung taritis, papan wiyar katingal rupak awit saking raharjaning praja. Para mantri bupati sami gumbregut ngupaya mring reh karaharjaning nagri. Kawula ing padusunan samio sengkut anggulawentah mring reh  olahing tetanen, angolah gelaring pangonan, raja kaya pitek iwen datan ana cinancangan, sami angupaya gesang sowang-sowang, lamun wanci serap surya sami wangsul mring kandhange dhewe-dhewe.  

Reep sidem premanen, geghodhongan dhatan ebah samirana tan lumampah, inggih ingkang kapiarsa amung swaraning abdi kriya gendhing ingkang nembe angayati karti. Pating calengrang-pating calengkring ambimbuwi asrining pasewagan.

 Menawi kacarioasen kautamen dan raharjaning nagri sadalu natas mboten wonten kendhatipun, sinigeg pinunggel kawi..........

Tontonan

        Eksistensi wayang kulit sebagai bagian dari dunia kesenian yang sudah sekian lama menjadi tontonan bagi masyarakat, khususnya masyarakat Jawa tentu sudah tak perlu diragukan. Sejak dari kalangan bawah hingga kalangan atas begitu banyak yang senang menonton wayang kulit. Pentas digelar mulai kalangan keluarga hingga instansi kepresidenan. 

Masih lekat di ingatan kita ketika Presiden Jokowi “nanggap” wayang kulit dengan Ki Manteb Sudarsono sebagai dalangnya di halaman Istana Merdeka, “beratap langit kemul mega’’, artinya tanpa tenda penutup. Itu pertunjukan wayang kulit yang pertama kali dalam sejarah “tanpa terob penutup sebagai atap”. Pertunjukan berkolaborasi dengan pelawak-pelawak kenamaan, Cak Lonthong dkk, dan penyanyi-penyanyi ternama, yang menjadikan presiden dan penonton begitu terlihat berbahagia. 

Pagelaran wayang kulit memang lebih sering dilakukan oleh instansi dan perkumpulan masyarakat. Kalau dirujuk, hampir seluruh instansi besar pernah menghadirkan wayang kulit sebagai tontotan yang menghibur bagi warganya dan masyarakat sekitarnya. 

Di Sidoarjo misalnya beberapa kali pentas wayang kulit dengan dalang kenamaan Ki Manteb Sudarsono sudah sering kali, di pendopo kabupaten, di alun-alun, di lapangan parkir GOR. Ki Enthus Suksmono juga.

Di Surabaya saat pertama kali Ki Manteb pentas di tahun ’89 penonton membludak sampai memenuhi halaman balai kota. Pertunjukkan hampir tiap tahun diulang, penonton tetap saja membludak. Di kantor gubernuran Ki Anom Suroto, Ki Manteb Sudarsono menhibur dengan wayang “kelas satu” nya. 

Di GOR Brawijaya Surabaya, di lapangan Polda Jatim, di gedung Golkar, di Jl Diponegoro, di Kebun Binatang, di GOR Pancasila, di GOR Tambaksari,  di halaman depan beberapa gereja di Surabaya, di depan Arca Joko Dolog, di depan gedung DPRD, di gedung RKIP Wonocolo, di UBAYA, di ITS, di depan Kantor Dinas Pendidikan Adityawarwan, dan di beberapa tempat lainnya Ki Manteb Sudarsono pernah tampil di ITS. Bahkan di beberapa tempat lebih dari satu kali,  Penontonnya tetap saja membludak. 

Seiring dengan perkembangan jaman, tontonan bukan saja bisa dinikmati dengan menonton langsung di tempat pementasan. Lewat TV, HP,  streaming bisa menikmati tontonan seolah-olah berada di pementasan. Tahun pertengahan 90-an bahkan tiap malam Minggu TV Indosiar selalu menampilkan siaran langsung atau rekaman wayang kulit semalam suntuk dengan menampilkan dalang-dalang kondang. Siaran itu selalu dinanti penonton. 

 Puncaknya saat Covid-19 lalu, ketika pementasan dilarang untuk menghindari penyebaran virus, maka pementasan tontonan dilakukan secara streaming. Itu sekaligus sebagai pelepas dahaga bagi penonton. Banyak dalang yang menyelenggarakan siaran streaming dari rumahnya yang didesain menjadi panggung wayang kulit. 

Tuntunan

Pertunjukan wayang kulit sebagai tuntunan? Bagi penikmat wayang kulit pertanyaan itu pasti akan dijawab “Ya”. Lho kok? Mungkin ada yang  menjawab, bukan hanya wayang kulit, tontonan yang bisa jadi tuntunan, hampir semua tontonan bisa jadi tuntunan. Monggo kalau berpendapat demikian, sah-sah saja. Khusus pertunjukkan wayang kulit ini sangat bisa difahami, terutama bagi penggemar dan penikmat. 

Tuntunan di pertunjukkan wayang kulit bisa didapat dari karakter tokoh wayang, bisa dari isi lakon pakem, dan bisa dari kreasi dhalangnya yang menyampaikan pesan terselubung yang sesungguhnya itu isi dari kitab suci atau ajaran agama yang menunun moral menuju kemuliaan. 

Karakter wayang kulit itu mencerminkan karakter manusia. Wayang sendiri berasal dari kata “ Wewayangan “(bayang-bayang), wayang kulit itu “Wewayanganing urip” bayangan kehidupan. Ada tokoh mulya(mis: Rama di serial Ramayana)ada tokoh angkara murka (mis: Rahwana ), Di serial Mahabarata ada tokoh jujur (mis: Puntadewa) ada tokoh culas (mis:Sengkuni, ). Ada Wayang berwajah merah dan raksasa merupakan simbolisasi angara murka, wayang berwajah hitam simbolisasi dari ksatria dan raja representasi dari kebaikan. 

Dari lakon atau tema pragmen, ada banyak yang melahirkan tuntunan, seperti bagaimana keteguhan Pandhawa membela kebenaranm, keadilan, keluhuran budi, harga diri yang memerangi keserakahan, kemunafikan, keangkara murkaan. Bahasa pewayangan sering dikatakan sebagai “durjana julig” bagi yang menjadikan tatanan kehidupan moral menjadi rusak. 

Banyak lakon mengandung tuntanan kebaikan, keutaman budi, ajaran berbudi luhur seperti dalam mahabarata: Wiratha Parwo, Amarto Binangun, Pendadaran Sokolima, Dewa Ruci, Bimo Suci, Wahyu Astha Brata, Gozali Suta, Sampai Barata Yudha dan masih banyak lagi.

Di serial Ramayana tuntutan ada di banyak lakon,  seperti  Rama Tambak, Sinta Tundung, Jatayu Gugur,  Sugriwa Subali, Anjani gugat, Anoman Duta, Kumbakarno Gugah, hingga Bedhahing Ngalengka. 

               Di serial lainnya, ada pakem lakon Maespati, Sumantri Lgenger, Rama Bargawa Kridho, Arjuna Sasra Lena, Sukrosrono Maneges dan sebagainya. Bagaimana bisa dikatakan sebagai tuntunan? Bukankah tuntunan itu hanya dari kitab suci agama? Apakah dengan demikian wayang kulit itu juga bisa dijadikan pedoman dalam menjalani kehidupan? Jawabannya semoga bisa di tulisan berikutnya.

 

Previous Post Next Post