Oleh: Habibur Rahman, S.Pd.
“BONDO, BAHU, PIKIR, LEK PERLU SAK NYAWANE PISAN.” – KH. Ahmad Sahal
Dunia pendidikan dimata saya adalah
lapangan jihad dan pengabdian. Jihad tidak hanya semata-mata terjun di medan
peperangan. Mendidik dan mengajar termasuk jihad, memanage instansi sekolah
secara keseluruhan termasuk jihad, menguatkan dan mengembangkan usaha-usaha
ekonomi sekolah termasuk jihad, bahkan semua kegiatan dalam sekolah mempunyai
makna jihad. Jihad memerlukan pengorbanan, maka inilah alasan mengapa motto
kehidupan ini saya pilih menjadi pegangan.
Tahun 2021 adalah awal saya memasuki dunia
pendidikan. Diarahkan oleh ibu tercinta dengan tujuan agar menjaga ilmu yang
sudah saya tempuh di perguruan tinggi. Sempat menjadi gejolak dalam hati karena
dilema antara memfokuskan diri dengan usaha yang sudah dirintis atau memecah
konsentrasi mendidik anak negri. Selalu bertanya dalam hati “YAKIN JADI GURU?” Seperti
sudah ada yang mengatur, saya tidak sengaja membaca sebuah warta dunia cetakan
sebuah pondok pesantren terbesar di Indonesia. Tertulis didalamnya “memaknai
hakikat bondo, bahu, pikir, lek perlu sak nyawane pisan.” Sebuah filsafat hidup
dari kyai besar K.H. Ahmad Sahal yang akhirnya memantapkan hati untuk terjun
menjadi GURU.
Dalam mendidik itu harus berani berkorban
bondo, bahu, pikir, lek perlu sak nyawane pisan. Bondo berarti berkorban
materi. Saya jadi teringat salah satu wali kelas saya dulu rela mengeluarkan
materi untuk membeli takjil dan es teh hanya karena ingin anak-anak sekelas
terbiasa dengan berpuasa senin-kamis. Ada lagi guru IPA saya waktu SD yang
mengeluarkan biaya dari kantongnya sendiri untuk mendaftarkan nama saya agar
bisa mengikuti lomba di kabupaten. Hal ini tersimpan rapi dalam memori saya.
Secara tidak langsung mereka telah mengajarkan kepada saya apa itu arti
keikhlasan. Hal yang dilakukan dari hati, akan sampai pula di hati. Dan
tindakan mereka menjadi inspirasi saya ketika disekolah.
Pernah saya mengikutkan 5 siswa dalam lomba
E-Sport tanpa sepengetahuan sekolah. Karena pada saat itu lomba Game E-Sport masih
dipandang miring oleh masyarakat. Saya pun sempat ragu untuk mengikutsertakan
mereka. Dikarekanan masih menjadi hal yang tabu dan saya bingung melatihnya
bagaimana. Tapi bodo amat, saya tetap maju mendaftarkan mereka. Karena yang
saya pikirkan ketika itu adalah bagaimana sekolah memfasilitasi sesuai bakat
dan minat mereka. Qodarullah, karena merasa apa yang mereka sukai difasilitasi
dan didukung sekolah, dari sesi latihan hingga evaluasi pertandingan mereka
sendiri yang menghandle. Sampai akhirnya menjadi pemenang Juara 1 se Jawa-Bali.
Prestasi itu ditulis besar di brosur sekolah dan menjadi salah satu pendorong
PPDB disetiap tahunnya.
Sang kapten menerima piala dan uang pembinaan
Sedikit bercerita. Disetiap tahunnya,
seperti biasa sekolah kami memperingati agenda Masa Pengenalan Siswa Baru dan
Perkemahan Jum’at-Sabtu. Saya memberanikan diri mengajukan proposal sejumlah
triplek, cat, dan pigmen warna. Gayung bersambut, kepala sekolah pun mendukung
program saya. Saya mengurangi pemakaian banner untuk background. Sebagai
gantinya semuanya diganti dengan lukisan diatas triplek yang berbahan dasar cat
tembok. Saya mulai menyeleksi potensi-potensi dari kelas 8 dan 9. Tersaringlah
8 anak yang terbentuk yang saya beri nama tim dekor.
Saya dan tim dekor memulai bekerja setelah
sepulang sekolah. Karena sekolah kami full day, Tak jarang mereka pulang dikala
matahari hampir terbenam. Saya? otomatis lebih dari itu. Singkat cerita jerih
payah kami berhasil. Dari tahun 2022, sekolah kami sudah tidak memakai banner
untuk background. Semuanya diganti dengan karya lukis siswa. Panggung mini pun
berhasil kita buat dari pemanfaatan pallet bekas. Sampai saaat ini, organisasi
tim dekor terus berkembang dan mereka fokus umtuk meningkatkan bakat dan minat
dibidang lukis. Sering saya bilang kepada mereka sambil melukis, “Apa yang
kalian lakukan ini adalah salah satu pendidikan.”
Istri saya sering bertanya, “kenapa kok
ngoyoh bener kerjanya?”
Dan jawaban saya selalu sama. “Kalo
bukan ilmu yang bermanfaat, apalagi yang mau kita bawa mati?”