MENDISIPLINKAN SISWA TANPA TERIAKAN DAN HUKUMAN

 Oleh: Abdullah Makhrus

Bapak dan Ibu guru hebat dimana pun berada. Pernahkah mengalami kondisi seperti berikut ini saat mengajar?

  • Situasi kelas rusuh/ ramai dan susah dikendalikan
  • Murid tidak bertanggung jawab akan tugas-tugas yang diberikan
  • Murid tidak fokus dan motivasi belajar menurun

Jika ya, maka saya pun mengalami hal yang sama seperti Bapak/Ibu. Pengalaman mengelola kelas dengan karakter super aktif pernah saya alami saat pertama kali mengajar di Sekolah Dasar. Saat itu saya pertama kali mengajar di kelas IV.

Rasanya stress sekali mengendalikan kelas dengan peserta didik yang super aktif. Super aktif disini yang saya maksudkan adalah mereka suka ngobrol dan menimbulkan keramaian di kelas dan suka pindah-pindah tempat duduk. Sulit sekali rasanya mengatur mereka. Setelah itu saya terus belajar dengan teman sejawat, hingga mengikuti program guru penggerak yang salah satunya mempelajari modul budaya positif. Ada hal yang menarik yang ingin saya bagikan pada teman-teman guru di Indonesia, khususnya kota tercinta di Sidoarjo.

Apa pengalaman/materi pembelajaran yang baru saja diperoleh?

Setelah melakukan proses reflektif terkait pengalaman belajar di modul belajar budaya positif, saya mendapatkan pengalaman baru yang menarik. Inilah yang ingin saya bagikan ke teman-teman guru di seluruh Indonesia. Karena ternyata ada banyak hal yang bisa kita aplikasikan di kelas untuk menertibkan kondisi kelas dengan melakukan pendekatan disiplin positif dan keyakinan kelas.

Apa emosi-emosi yang saya rasakan terkait pengalaman belajar?

Perasaan dan emosi yang muncul setelah belajar modul budaya positif adalah perasaan lebih lega. Saya merasa menemukan solusi yang membahagiakan. Apalagi ketika saya ingin mengingatkan kembali pada anak didik yang melanggar peraturan kelas, saya tidak perlu berteriak-teriak dengan suara lantang karena anak didik sudah diajak membuat keyakinan kelas.

Apa yang sudah baik berkaitan dengan keterlibatan dirinya dalam proses belajar?

Ada hal yang menurut saya sudah baik berkaitan dengan keterlibatan saya dalam proses pembuatan keyakinan kelas. Dalam hal ini saya mengikutkan peserta didik berdiskusi untuk membuat keyakinan kelas.  Dengan melibatkan mereka dalam diskusi ini, anak didik merasa ikut memiliki andil dalam proses pembuatan peraturan hingga keyakinan kelas.

Apa yang perlu diperbaiki terkait dengan keterlibatan dirinya dalam proses belajar pada modul budaya positif?

Menurut hemat saya, hal yang perlu diperbaiki adalah proses dokumentasi. Karena terlalu asyik ada sedikit step yang menurut saya terlewat/lupa untuk didokumentasikan. Utungnya sebagian besar sudah sempat terdokuentasikan. Dokumentasi ini penting untuk digunakan sebagai upaya desiminasi/pengimbasan kepada guru-guru lainnya.

Implementasi budaya positif di kelas

Satu hal yang kadang masih menjadi pertanyaan pada diri saya, kenapa kadang masih ada saja siswa yang tetap melanggar peraturan kelas? Padahal mereka sudah kita ajak membuat peraturan kelas dan keyakinan kelas secara bersama. Rupanya memang budaya positif ini tidak langsung instan. Butuh proses repetisi dan perlu kesabaran menunggu dalam berproses untuk membuat anak didik berubah perilakunya.

Salah satu hal yang menarik bagi saya pada materi ini, akan sedikit saya ulas di bagian tulisan ini.

Diantaranya adalah Perubahan Paradigma Belajar, Disiplin Positif, Keyakinan Kelas, dan Segitiga Restitusi.

Pada poin Perubahan Paradigma Belajar, ada 4 hal:

1. Semua upaya pendidikan, apa pun itu judulnya, harus berpusat pada kepentingan siswa.

2.Sistem pendidikan nasional tidak berjalan sendiri. Sebanyak mungkin stakeholders yang merupakan pihak eksternal, entitas bisnis, hingga masyarakat untuk berperan aktif ikut mendukung (merancang, mengembangkan, dan melaksanakan pendidikan)

3Terkait dengan teknologi. teknologi mesti dimanfaatkan sebagai fasilitas pendidikan. Jangan takut dengan teknologi, tapi mari kita gunakan dan manfaatkan teknologi untuk meningkatkan kualitas dan efektivitas pendidikan.

4.Mengubah mindset birokrat. Dengan memberikan kepercayaan dan otonomi seluas-luasnya kepada kepala sekolah, guru untuk merancang pembelajaran terbaik bagi siswa-siswanya.

Sementara untuk membangun budaya positif di sekolah, saya mengawali sebuah pertanyaan reflektif pada diri sendiri:

  • Bagaimana cara membuat murid disiplin?
  • Siapakah yang bisa mendisiplinkan murid?
  • Apakah guru yang bisa mendisiplinkan murid?  Kepala Sekolah? orangtua murid? atau murid itu sendiri?
  • Mengapa?

Mendisiplinkan siswa adalah bagian penting yang perlu kita lakukan di ruang-ruang kelas kita. Merujuk pada pengertian disiplin menurut KBBI adalah tata tertib (disekolah, kemiliteran, dan sebagainya); ketaatan (kepatuhan) kepada peraturan (tata tertib dan sebagainya)

“Disiplin” juga sering dihubungkan dengan hukuman, padahal itu sungguh berbeda, karena belajar tentang disiplin positif tidak harus dengan memberi hukuman, justru itu adalah salah satu alternatif terakhir dan kalau perlu tidak digunakan sama sekali.

Sementara itu, menurut Ki Hajar Dewantara (KHD)  

“Dimana ada kemerdekaan, disitulah harus ada disiplin yang kuat. Sungguhpun disiplin itu bersifat ”self discipline” yaitu kita sendiri yang mewajibkan kita dengan sekeras-kerasnya, tetapi itu sama saja; sebab jikalau kita tidak cakap melakukan self discipline, wajiblah penguasa lain mendisiplin diri kita. Dan peraturan demikian itulah harus ada di dalam suasana yang merdeka. (Ki Hajar Dewantara, pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka, Cetakan Kelima, 2013, Halaman 470)

Maka penulis mengartikan bahwa, membangun self disiplin menjadi hal penting untuk dilakukan. Untuk menciptakan murid yang merdeka, syarat utamanya adalah harus ada disiplin yang kuat.

Disiplin yang dimaksud adalah disiplin diri, yang memiliki motivasi internal. Jika kita tidak memiliki motivasi internal, maka kita memerlukan pihak lain untuk mendisiplinkan kita atau motivasi eksternal, karena berasal dari luar, bukan dari dalam diri kita sendiri.

Perlu kita ketahui bahwa sesungguhnya ada 3 Motivasi Perilaku yang membuat manusia memutuskan untuk melakukan tindakan tertentu.

1. Untuk menghindari ketidaknyamanan atau hukuman

2. Untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain.

3. Untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya

Kebanyakan kita menggunakan pendekatan hukuman untuk mendisiplinkan siswa, padahal itu tidaklah efektif untuk membuat siswa jera. Justru itu akan membuat anak didik merasa dendam dan akan mengingat kesan negatif atas hukuman yang mereka terima dari gurunya.

Kita tentu juga perlu mengingat kembali posisi kontrol guru yang sudah kita kenalketahui. Ada 5 posisi kontrol guru, di antaranya:


Tantangan di sekolah saya adalah bahwa setiap guru tidak hanya mengajar di satu kelas. Guru mengajar di beberapa kelas. Ketika tidak semua kelas menerapkan budaya positif, ini akan membuat anak merasa diperlakukan tidak sama oleh guru yang lain, terutama mereka yang tidak memahami konsep budaya positif atau bahkan yang tidak memiliki visi yang sama dalam mendisiplinkan siswa.

Alternatif solusi yang saya hadirkan adalah dengan mengajak teman-teman satu pararel untuk melakukan KKG mini untuk mempelajari budaya positif bersama-sama. Kami melakukan nonton bareng tentang proses pembuatan keyakinan kelas termasuk pendekatan segitiga restitusi dalam mendisiplinkan siswa.

Pengalamaan masa lalu saya menunjukkan bahwa hukuman yang saya terima dari guru saat saya melakukan kesalahan hanya membuat saya merasa malu. Karena hukuman itu dilihat oleh seluruh teman-teman saya. Padahal menurut saya kesalahan yang saya lakukan pada masa lalu itu ringan sekali. Saya masih mengingat hukuman dari guru saya pada masa lalu.

Belajar dari pengalaman buruk itu, saya berupaya melakukan penerapan budaya positif di masa mendatang. Diantaranya adalah proses pembuatan keyakinan kelas dan praktik pendekatan segitiga restitusi saat di kelas. Beberapa penerapan budaya positif ini Alhamdulillah ingin terus saya lakukan di masa mendatang. Berbekal pengalaman membuat keyakinan kelas di tahun ini.

 Saya mengawali proses refleksi dengan berdiskusi bersama siswa di kelas, diantaranya pertanyaan yang saya ajukan ke peserta didik di kelas berikut ini:

  1. Apa yang membuat kalian tidak nyaman di kelas?
  2. Apa usul kalian agar kelas menjadi nyaman?
  3. Apa peraturan kelas yang kalian inginkan?
  4. Apa konsekuensi jika ada yang melanggar?
  5. Yuk, kita buat Bersama kesepakatan dan keyakinan kelas kita

Setelah itu saya mempraktikkan modul budaya posisitf dengan mengajak siswa berdiskusi untuk membuat keyakinan kelas dari hasil refleksi di atas bersama siswa:

Presentasi kelompok di depan kelas


Proses pembuatan keyakinan kelas

Membuat penandatanganan bersama atas keyakinan kelas yang dibuat bersama

Selanjutnya, meminta anak didik memberikan umpan balik


Kemudian kami berfoto bersama agar menjadi pengingat

Demikian juga, kita bisa melakukan pendekatan dengan teknik segitiga restitusi untuk memperbaiki kesalahan dan ketidakdisiplinan anak didik.

Sebelum mempelajari modul ini, ketika berinteraksi dengan murid, berdasarkan 5 posisi kontrol dulu saya lebih sering memosisikan diri sebagai penghukum dan sebagai teman. Perasaan saat itu seingkali jengkel karena anak didik tidak kunjung berubah memperbaiki kesalahannya.

Namun, setelah mempelajari modul budaya positif ini,  posisi guru yang saya pakai sebagai manajer. Perasaan setelah memosisikan sebagai manajer di kelas, saya menjadi lebih nyaman, bisa lebih dekat dengan anak didik dan mereka mudah sekali diingatkan jika melakukan kesalahan. Tak perlu dengan teriakan, maupun hukuman untuk memperbaiki kesalahan mereka.  sekarang? Apa perbedaannya?

Sebelum mempelajari modul ini, saya pernah menerapkan segitiga restitusi, namun tidak selengkap setelah belajar modul ini ketika menghadapi permasalahan murid saya. Saya lebih sering menggunakan tahap validasi tindakan yang salah. Seringkali saya langsung menanyakan alasan apa yang digunakan peserta didik sehingga mereka melakukan kesalahan dan biasanya saya yang lebih dominan mencarikan solusi atas masalah mereka.

 

Dari bahan bacaan  lain yang saya dapat, bahwa cara efektif untuk membantu memperbaiki perilaku anak adalah mengajak anak berdiskusi.  Menurut buku berjudul FATHERMAN “Ayah yang dirindukan” karangan Ustaz Bendri Jaisyurrahman mengajarkan pada kita, hendaklah para ayah(pendidik) memiliki kredibilitas dan momentum untuk bisa memengaruhi perilaku anak-anak kita.

Seperti apa penjelasannya? 

Pertama, memiliki kredibilitas. Maknanya seorang ayah/guru memang sebagai sosok yang layak menjadi contoh dan teladan. 

Kedua, ketahuilah momentum. Kemampuan melihat golden moment untuk memberikan setruman energi bagi anak. Agar kita bisa menjadi motivator yang mumpuni bagi anak dan mampu memengaruhi serta memperbaiki perilaku mereka. Semoga kita mampu menjadi sosok teladan bagi anak didik kita agar mereka memiliki akhlakul karimah. aamiin.

 

Biodata Penulis



Abdullah Makhrus, M.Pd. Seorang Writer-Trainer-Teacher. Penulis 2 Buku Solo dan Penulis 8 Buku Antologi. Karya Buku Solo berjudul     1 Pesan 1 Peristiwa dan Rahasia 15 Menit Membuat Blog dan Website Pribadi Bagi Pemula
 
Pernah mendapatkan penghargaan penulis artikel di Jawa Pos berjudul Belajar Matematika dengan Nalar pada lomba Artikel Untukmu Guru 2008. 
Beberapa tulisan artikel ada yang dimuat di tabloid PENA, juga ada pula yang dimuat di harian Republika berjudul Menemukan Motivator Terbaik.

Aktivitas saat ini menjadi pengajar kelas 4 di SD Muhammadiyah 1 Pucanganom Sidoarjo. Owner Bimbingan Belajar Matematika SD "Az Zahro" dengan sistem bayaran Seikhlasnya(disesuaikan kemampuan orang tua) atau Gratis bagi yatim. Kepala Klub Matematika Seikhlasnya (KMS) Klinik Pendidikan MIPA(KPM) Muhammadiyah Sidoarjo. Pengajar Praktik Program Guru Penggerak Angkatan 7 Kab. Sidoarjo,  Fasilitator PGP Angkatan 16, Wakil Ketua Gerakan Budaya Literasi(GBL) Sidoarjo, dan Ketua Ikatan Guru Indonesia(IGI) Daerah Sidoarjo. 

Penulis bisa dihubungi di 081333148884 atau www.abdullahmakhrus.com

2 Comments

  1. Masya Allah, mantab Ustadz. Barakallah

    ReplyDelete
    Replies
    1. terima kasih Abah Mustajib. Bagaimana mendisiplinkan anak-anak yang sekolah di Riyadh? bolehlah berbagi tipsnya

      Delete
Previous Post Next Post