Menyala Gen Z, Penggerak Inovasi

 

Oleh: Jamilatun Heni Marfu’ah

Sabtu, 29 Juni 24 saya bertemu kembali dengan alumni KB-TK-SD Nufi Sidoarjo. Nampak lebih dewasa dengan karakter yang dimiliki. Salsa namanya. Di usianya yang semakin dewasa, ia lebih memilih bergabung di salah satu startup di Jakarta.

Ya. Alumni tersebut kelahiran tahun 2000. Menurut Wikipedia Ensiklopedia Bebas, istilah Generasi Z atau disingkat Gen Z dikenal sebagai zoomer. Kelompok demografis yang menggantikan Generasi Milineal dan sebelum Generasi Alfa. 

Adapun klasifikasi rentang tahun kelahiran Gen Z yang digunakan di Indonesia berawal dari tahun 1997 hingga 2012 berdasarkan data resmi yang ditetapkan Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia pada Sensus Penduduk tahun 2020. Sebagian besar anggota Gen Z adalah anak dari Generasi X atau generasi Baby Boomer yang lebih muda.

Nah, apa yang membuat Gen Z menyala? Sambil ngopi santai ala anak muda (cie, jadi ikutan muda nih saya, hehehe…), saya tertarik untuk menggali lebih lanjut. Obrolan kami sekitar dunia kerja Gen-Z saat ini. Salsa dengan senang hati berbagi praktik baik aktivitasnya. 

Ia menyebut, mayoritas teman-temannya adalah mereka yang antusias dengan tren terkini. Beragam hal kreatif dilakoninya untuk kemajuan tempat di mana ia bekerja. Tuntutan bergerak cepat karena perubahan adalah hal biasa, maka penyesuaian diri dengan kondisi, dan berfikir out of the box menjadi konsumsi sehari-hari.

Pekerjaan yang ia lakoni juga sesuai background pendidikan yang digelutinya. Alumni UGM jurusan Teknologi Informasi beserta rekan kerjanya menghabiskan waktu kerja mulai pukul 09.00 sampai pukul 18.00 waktu Jakarta. Ketika saya tanya, apakah anak-anak muda itu tidak capek kerja sampai Maghrib. 

Ia membeberkan resepnya. Ternyata anak muda gila kerja. Mereka dinamis, memiliki minat kuat dan keberanian untuk terus berkembang. Gen Z melakoni dengan senang hati dan bersemangat mencoba hal-hal baru. Dukungan pimpinan membuat mereka bertahan dan memajukan startup. Tak heran juga anak muda malah kerasan.

Faktor pendukung lainnya adalah faktor salary yang menggiurkan. Masuk kerja pertama kali, Gen Z sudah mengantongi dua digit dari startup. Belum lagi fasilitas lainnya berupa insentif, bonus, dan tunjangan yang menyertainya. Pantas saja mereka bekerja all out dengan tanggung jawab yang diembannya untuk mencapai visi perusahaan.

Cerita menarik lainnya adalah saat mau MOU di awal. Gen Z cerdas melakukan negosiasi dengan HRD perusahaan. Tak segan Gen Z meminta gaji lebih besar dari yang ditawarkan karena pengalaman yang disandang sebelumnya. Misalnya saat kuliah menyambi bekerja atau pengalaman yang disandangnya menjadikan hal yang dilirik perusahaan. 

Menurut cerita Gen Z, negosiasi salary­ semacam ini normal di mana pun berada. Gen Z mengakui pentingnya komunikasi dalam menyelesaian problem. Inilah kenapa generasi ini lebih terbuka dan menghargai pemikiran orang lain.

Dalam diskusi malam yang semakin hangat, saya semakin menyadari adanya potensi Gen Z yang menjadi kekuatannya. Dengan tantangan teknologi yang semakin berkembang pesat, media online gampang diakses, dan pergaulan semakin bebas, terkadang sebagai seorang pendidik ada rasa kuatir bagaimana perilaku keseharian di lingkungan kerja. 

Namun, lagi-lagi pandangan saya terpatahkan oleh kisah dari alumni Nufi tersebut. Salsa nampak bersemangat melanjutkan ceritanya. Menurut Salsa, budaya lingkungan kerja yang dibangun adalah budaya inklusif, di mana mereka saling menghargai perbedaan dari setiap individu. Budaya ini membuat mereka nyaman karena merasa diterima dan tetap saling terhubung secara profesional.

Menurut pengakuan Salsa, ia sangat bersyukur karena sejak kecil, pendidikan yang telah ditempuhnya mulai dari Kelompok Bermain (KB) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) mengajarkan karakter positif. Nilai-nilai yang dianutnya tertanam kuat, termasuk akhlak tentang pergaulan lawan jenis tetap dijaga di lingkungan kerja. 

Cerita ini membuat saya kagum akan Gen Z ini. Akhlak mulia yang selama ini dibangun para guru dan tentu orang tuanya terinternalisasi dalam dirinya. Ia tetap menjaga pergaulan, menjaga makanan yang dikonsumsinya adalah makanan halal, karena ia menyadari rekan kerja di lingkungannya tidak semuanya muslim dan tidak semua dari dalam negeri. 

Lagi-lagi ia juga menegaskan kembali bahwa lingkungan budaya kerja Gen Z adalah inklusif, saling menghargai terutama dalam hal menjalankan kewajiban ajaran agama.

Yang ingin saya garis bawahi adalah anak-anak muda kelahiran tahun 2000 ini keren. Bagi sebagian masyarakat terkadang masih memandang sebelah mata untuk perusahaan startup. Mungkin karena minimnya informasi atau pandangan yang belum utuh akan kondisi terkini. 

Mengutip berita pada 29 Juni 24 dari website CNBC Indonesia, bahwa kelahiran 2000 mendadak jadi trending topik di jejaringan sosial Twitter pada 17 Januari 2023. Tidak sedikit warganet yang menggunakan keyword tersebut untuk membahas hal seputar pencapaian finansial, karier, dan lainnya (https://bit.ly/CNBNIndonesia_29Juni24). Namun di balik itu semua, Gen Z tetap memperhatikan akhlak yang diyakininya.

Ya, tak disangkal penggerak inovasi ini senantiasa berfikir ke depan untuk masa depan cemerlang. Alasan yang sering diungkap adalah mumpung usia masih muda, otak masih encer diajak berfikir. Tetap tergerak, bergerak, dan menggerakkan.

Kebahagiaan bagi saya dan tentunya para pendidik di seluruh nusantara telah membersamai Gen Z di jamannya. Sebuah refleksi bagi kita semua bahwa guru memiliki peran penting dalam membangun generasi muda yang berkarakter Pancasila. Tugas berjamaah ini mari kita pupuk dan jaga agar karakter baik terus mengakar kuat pada diri anak-anak penerus bangsa. (continued)

 

Sidoarjo, 30 Juni 2024

 

 

 

Previous Post Next Post