Problem
Posing, jika diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia adalah pengajuan
pertanyaan. Tema ini pernah saya tulis saat mengikuti Lomba Inovasi Pembelajaran
dan meraih juara II di Tingkat Nasional pada tahun 2012. Setelah dua belas
tahun berlalu, saya yakin tema ini masih sangat relevan untuk diadopsi dan diimplementasikan.
Berdasarkan Taksonomi Bloom dan Anderson, pada domain kognitif terdapat level C1 hingga C6 yaitu mengingat, memahami, mengaplikasikan, menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta. Pada umumnya siswa kita mengalami kesulitan ketika diberikan permasalahan pada level kognitif menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta. Kelemahan itu terutama dalam hal: (1) memahami informasi pada permasalahan yang diberikan, artinya siswa mengalami kesulitan dalam menuliskan fakta yang ada dan pertanyaan yang diajukan, (2) merencanakan penyelesaian yang sesuai, dan (3) menggunakan cara yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
Untuk mengatasinya, Sutawijaya
(dalam Siswono, 1999:2) yang merujuk pada pendapat Cars menyarankan setiap
siswa atau kelompok siswa harus diberanikan membuat pertanyaan.. Hal ini
diperkuat oleh English (dalam Christou, et.al: 2005) bahwa pengajuan pertanyaan
dapat meningkatkan pemikiran siswa, keterampilan memecahkan masalah, sikap, dan
pemecahan masalah, serta memberikan kontribusi terhadap pemahaman yang lebih
luas terhadap konsep. Selain itu, hasil penelitian yang dilakukan oleh Silver
dan Cai (dalam Christou, et.al: 2005) menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan
masalah siswa berkorelasi tinggi dengan kemampuan pengajuan pertanyaan.
Secara sederhana problem posing didefinisikan sebagai strategi pembelajaran yang menempatkan siswa sebagai pusat dari proses belajar dengan mengajak mereka untuk aktif berpartisipasi dalam identifikasi dan formulasi masalah/pertanyaan. Strategi ini menekankan pentingnya keterampilan berpikir kritis dan kreatif dalam proses pembelajaran.
Manfaat problem posing adalah: (1) meningkatkan
keterampilan berpikir kritis dalam mengidentifikasi masalah dan mencari solusi
yang tepat; (2) mendorong kreativitas untuk merumuskan masalah/pertanyaan dari
berbagai perspektif, yang pada akhirnya meningkatkan kreativitas mereka; (3) memperkuat
pemahaman konsep karena siswa harus merumuskan masalah/pertanyaan sendiri sehingga
akan lebih memah ami
konsep yang dipelajari secara mendalam; dan (4) meningkatkan keterlibatan siswa
dalam proses pembelajaran karena mereka merasa memiliki kontrol atas apa yang
mereka pelajari. Jika dikaitkan dengan kemampuan literasi terlihat ada
kesesuaian, yaitu siswa harus memahami fakta/informasi yang ada dalam
permasalahan (retrieve/akses data), menginterpretasikan, dan
menyimpulkan untuk menentukan solusi.
Bagaimana cara mengimplementasikannya? Berikut akan dijelaskan praktik baik yang pernah saya lakukan di kelas. Pertama, guru menyampaikan topik yang akan dipelajari secara umum. Misal dalam topik yang diberikan terdapat informasi berupa gambar, tabel, atau lainnya. Siswa diminta untuk mengidentifikasi informasi apa saja dari informasi yang diberikan. Selanjutnya secara berkelompok, siswa diminta untuk membuat pertanyaan berdasarkan gambar, tabel, atau informasi lain yang diberikan asalkan sesuai dengan topik yang sedang dipelajari.
Pertanyaan
tersebut diberikan kepada kelompok lain untuk dibahas, yang kemudian jawabannya
dicek kembali oleh kelompok asal. Guru juga dapat menggunakan cara lain, yaitu
guru telah menyediakan jawaban, kemudian siswa diminta untuk mengajukan
pertanyaan berdasarkan jawaban itu dan membuat alternatif jawaban lainnya. Terakhir, guru dan siswa bersama-sama
membahas hasil diskusi kelompok. Cara ini saya beri nama dengan Strategi JUTA
BARBEL (Pengajuan Pertanyaan Berdasarkan Gambar dan Tabel). Kemudian, saya
memodifikasi menjadi Strategi JUTA BARBEL-NG, dengan NG
adalah New Generation. Modifikasi yang saya lakukan adalah Lembar
Kegiatan Siswa secara manual saya ganti dengan menggunakan sebuah aplikasi
sehingga siswa merasa seperti bermain game pada saat belajar. Strategi
ini menarik perhatian juri sehingga saya berhasil meraih juara di Tingkat Nasional.
Contoh implementasi
lainnya dalam pelajaran IPA, guru dapat menggunakan problem posing untuk
membahas topik perubahan iklim. Guru meminta siswa untuk mengidentifikasi
masalah terkait perubahan iklim yang mereka lihat di lingkungan sekitar,
seperti banjir atau polusi udara. Siswa kemudian merumuskan pertanyaan
penelitian mereka sendiri, seperti "Bagaimana polusi udara mempengaruhi
kesehatan masyarakat di daerah kami?" atau "Apa saja solusi efektif
untuk mengurangi banjir di lingkungan kami?". Proses ini membantu siswa
memahami materi dengan lebih baik, mengembangkan keterampilan penelitian, dan
merasa lebih terlibat karena topik tersebut relevan dengan kehidupan mereka
sehari-hari.
Hal yang sering menjadi pertanyaan dari strategi Problem Posing ini adalah “Bukannya membuat pertanyaan itu adalah tugas guru?” Guru adalah penyampai informasi utama dan pengendali utama dalam proses pembelajaran, tetapi bukan satu-satunya sumber belajar. Dalam konteks ini, siswa berperan sebagai penerima pasif yang merespon pertanyaan yang diajukan oleh guru. Melalui strategi problem posing, siswa tidak hanya menerima informasi tetapi juga aktif dalam menciptakan pertanyaan dan masalah yang relevan dengan materi yang dipelajari. Ini menciptakan dinamika pembelajaran yang lebih interaktif dan menantang. Masih ragu dengan strategi problem posing? Jangan pusing-pusing…., silakan diterapkan di kelas Bapak/Ibu masing-masing….
Biodata Penulis:
https://s.id/portofolio_nettilastiningsih