GAGRAK PORONGAN: JEJAK WARISAN LELUHUR DI PENTAS MODERN

Oleh: Sudarwanti, M.Pd.

Pernah dengar tentang wayang kulit Gagrak Porongan? Ini kali pertama, penulis  ikut menyaksikan  wayang kulit Gagrak Porongan di Tulangan dan sekaligus belanja ide untuk setoran tulisan di bulan Juli.  Kali kedua, nonton pagelaran wayang di Wilayut.  Penulis merasa cukup info untuk menulis tentang Gagrak Porongan. Gagrak Porongan, salah satu kekayaan budaya Sidoarjo yang lagi dihidupkan kembali oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Sidoarjo. Penasaran? Yuk, kita bahas!

Apa sih Wayang Kulit Gagrak Porongan itu?

Wayang kulit Gagrak Porongan  adalah sebuah keunikan budaya yang tumbuh subur di Porong. Ini adalah salah satu jenis wayang kulit yang punya gaya unik khas Sidoarjo. Bedanya apa dengan wayang kulit pada umumnya? Nah, biasanya dari segi cerita, gaya pementasan maupun iringan musiknya  khas banget. Kekhasannya juga dari peralatan gamelan yang sedikit minimalis. 

Dulu, wayang kulit Gagrak Porongan ini populer di kalangan masyarakat. Sayangnya, seiring waktu, popularitasnya mulai meredup. Meski pamor memudar  tapi tetap mampu bertahan dikalangan masyarakat. Dengan kondisi ini, maka pemerintah daerah melalui Dinas Dikbud berinisiatif untuk menghidupkan kembali budaya wayang kulit Gagrak Porongan sebagai warisan budaya. Keseriusan Dinas Dikbud Kabupaten Sidoarjo dalam melestarikan wayang kulit Gagrak Porongan dibuktikan dengan digelarnya seni ini di 12 kecamatan di kabupaten Sidoarjo tahun 2024. 

Dinas Pendidikan dan Kebudayaan sebagai leading sector nggak main-main dalam upaya pelestarian budaya ini. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan memiliki peran penting sebagai motor penggerak dalam pelestarian wayang kulit Gagrak Porongan. Seluruh elemen masyarakat dilibatkan dalam merawat budaya wayang kulit ini. Mengapa? Karena pendidikan bukan hanya soal ilmu pengetahuan, tetapi juga tentang nilai-nilai budaya yang membentuk identitas kita sebagai warga bangsa. Hal ini juga dapat mengenalkan pada generasi muda untuk mencintai dan melestarikan seni tradisional wayang kulit Gagrak Porongan. 

Tidak hanya pagelaran wayang an sich, Dinas Dikbud juga memberikan ruang bagi seniman muda untuk tampil. Dengan melibatkan para pemain gamelan dari kalangan anak muda bahkan dalang muda. Dinas Dikbud memberikan kesempatan bagi bakat-bakat baru untuk berkembang. Hal ini juga menciptakan regenerasi yang sehat dalam wayang kulit. Dan memastikan bahwa tradisi ini tidak akan punah seiring berjalannya waktu.

Pengalaman menonton Wayang Kulit Gagrak Porongan

Saat pertama tiba di tempat pertunjukan, penonton disambut  dengan tari remo yang energik, seolah-olah menyambut penonton dan menciptakan suasana meriah sebelum acara utama dimulai. Berikutnya menampilkan campursari dengan beberapa artis penyanyi. Perpaduan manis musik tradisional dan modern, seperti gitar, keybord dan drum, membuat pementasan menjadi lebih menarik dan atraktif. Apalagi lagu-lagu yang ditampilkan menyesuaikan selera penonton. Tak terasa kaki ini ikut bergoyang ketika irama dimainkan, karena lagu-lagunya tidak asing  di telinga.

Yang membuat wayang kulit Gagrak Porongan lebih spesial adalah para pemain gamelan. Tidak sedikit dari mereka adalah para generasi muda yang membawa semangat baru. Kolaborasi antara orang tua dan anak-anak muda menciptakan harmonisasi yang penuh makna. Ini bukan hanya tentang musik tetapi juga tentang kebersamaan dan regenerasi seni tradisional. Di tengah hiruk pikuk dunia modern, mereka memilih untuk menyelami dan merawat warisan budaya ini. Saat melihat mereka tampil,  penulis merasa kagum dan bangga dan mempunyai harapan yang besar. Harapan kita semua bahwa “Wayang kulit Gagrak Porongan tetap hidup dan bersinar di masa yang akan datang”.

Bagaimana dengan penonton? Penonton yang datang beragam. Biasanya dalam pagelaran wayang didominasi oleh para orang tua. Tetapi kali ini sangat berbeda. Ketika pagelaran diadakan, penontonnya tidak hanya dari golongan tua yang ingin bernostalgia tetapi anak muda yang tertarik untuk menyaksikan wayang. Bahkan dari penonton tidak sedikit siswa yang hadir untuk melihat dari dekat seni wayang ini. Ini bukti bahwa seni tradisional masih punya tempat di hati para generasi muda.  Selidik punya selidik, ternyata pemerintah desa  mengundang siswa yang berasal dari sekolah di lingkungan setempat. Tujuan mereka menghadirkan para siswa, tidak sekedar menonton wayang, tetapi merasakan langsung getaran budaya yang hidup dan terus berkembang di tengah masyarakat. 

Gagrak Porongan juga punya ciri khas dalam ceritanya. Ceritanya seringkali lebih fokus dengan cerita-cerita lokal yang sarat dengan pesan moral yang relevan dengan kehidupan sehari-hari. Cerita-cerita ini dirancang untuk memberikan pelajaran tentang kebaikan, kejujuran, keberanian, dan nilai-nilai positif kepada para penonton. Karakter dalam wayangpun juga beragam mulai dari raja sampai pada rakyat biasa. Setiap karakter memiliki peran penting dalam menyampaikan cerita dan pesan moralnya.

Bahasa yang digunakan  dalam wayang Gagrak Porongan Jawa Timuran dekat banget  dengan dialek Sidoarjo yang kental. Dialog-dialognya mengalir dengan ringan dan diselingi humor yang cenderung santai. Ungkapan-ungkapan yang disampaikan dalangpun sangat  khas dan akrab ditelinga penonton. Humor-humor yang menghibur seringkali membuat para penonton terpingkal-pingkal dengan aksi dalang yang piawai dalam penyampaiannya. 

Banyak lho penonton yang merasa senang dengan usaha pelestarian ini. Misalnya Pak Joko, seorang penonton, yang jauh-jauh datang ke acara pagelaran wayang, karena kecintaannya terhadap budaya yang satu ini. Beliau selalu hadir bila mendengar ada pagelaran wayang kulit di Sidoarjo. Bahkan beliau berujar “Senang rasanya lihat wayang kulit gagrak porongan kembali hadir dan diminati,” katanya. 

Pelestarian wayang kulit Gagrak Porongan ini adalah langkah penting untuk menjaga warisan budaya kita. Harapan kita semua, seni ini bisa terus hidup dan dinikmati oleh banyak orang, nggak hanya di Sidoarjo, tapi juga di seluruh nusantara, bahkan di tingkat dunia. Yuk, kita dukung usaha pemerintah dan ikut melestarikannya. Nah!?

Previous Post Next Post