KEBANGKITAN WAYANG GAGRAK PORONGAN


Sumber gambar: 
https://www.kompas.id/baca/tokoh/2024/05/17/didik-iswandi-wayang-kulit-gagrak-porong-untuk-semua-kalangan

Oleh: Farida Hanum

            Masih terbayang jelas, saat bapak mengajakku menonton wayang di desa Reno puluhan tahun yang lalu. Bunyi kendang dan gong meramaikan suasana desa, apalagi saat Ki dalang beraksi menjalankan alur cerita dan memeragakan tokoh pewayangan, benar-benar menghibur dan memukau para penonton. Pertunjukan tradisional yang sarat akan nasehat, menjadi pertunjukan yang selalu dinanti. Berulang kali, setiap bapak menonton pagelaran wayang, aku selalu merengek minta ikut, mungkin karena pada masa itu tidak banyak tontonan yang menghibur selain pagelaran Wayang Kulit, Ludruk, Jaran Kepang dll. Pengalaman  masa kecil itu membekas dalam diri hingga merindu akan momen-momen bisa menyaksikan pertunjukan wayang kembali.

            Saat ini, Era globalisasi dengan teknologi yang makin canggih, yang memberikan kemudahan dalam mengakses segala bentuk informasi, secara tidak langsung memberikan dampak perubahan kebudayaan Nusantara. Masyarakat menjadi semakin mudah berinteraksi terhadap dunia luar hanya melalui genggaman tangannya. Mereka dengan mudahnya menyaksikan konten-konten yang berkaitan dengan tradisi dan budaya luar.  Budaya nusantara mulai terkikis oleh zaman, masyarakat tidak lagi peduli pada kebudayaan sendiri, mereka lebih menyukai budaya luar. Sebagai contoh; munculnya rasa kecintaan berlebih terhadap aliran Korean K-Pop, gemar makan-makanan cepat saji atau junk food, melakukan dance tik-tok ala barat, hal itu tentunya sangat bertentangan dengan nilai-nilai dan norma budaya kita. Muncul juga anggapan “kuno dan kolot” saat generasi muda menyukai kebudayaan nusantara.  Menurunnya pamor budaya nusantara ini, tentunya perlu disikapi agar tetap terjaga dan lestari. Salah satunya adalah melestarikan Wayang Gagrak Porongan yang mati suri. Dikatakan mati suri karena Wayang Gagrak ini keberadaannya masih ada di wilayah Sidoarjo, namun tidak lagi terdengar kepamorannya serta ramainya pertunjukan Wayang Gagrak Porongan sebagaimana pada masa-masa puluhan tahun lalu.

            Wayang kulit Gagrak Porongan dikenal dengan wayang kulit Jek Dong, merupakan warisan budaya Jawa Timur, salah satu diantaranya daerah Sidoarjo dan Porong. Wayang Gagrak Porongan ini pertama kali diperkenalkan oleh Almarhum Ki Dalang Suwoto Ghozali dan mampu menjadi ikon Pewayangan Sidoarjo yang hit di berbagai daerah. Kepiawaiannya membuat alur cerita dan memerankan tokoh pewayangan mampu melejitkan Wayang kulit Gagrak, yang kemudian ditambahkan nama Porongan dalam wayang tersebut sebagai identitas tempat tinggal  Ki Dalang Suwoto Ghozali. Wayang kulit ini disebut juga dengan Jek Dong, berasal dari kata “Jek” yang merujuk pada alat keprak dan “Dong” yang merujuk pada kendang dan gong besar, hal itu berarti unsur bunyi dihasilkan dari keprak kemudian disambut dengan kendang dan bunyi dong. Dari segi musik wayang kulit ini hanya menggunakan gamelan slendro mirip dengan gamelan yang digunakan dalam kesenian ludruk. Bahasanya cenderung merakyat sesuai dengan kultur budaya arek suroboyoan. Wayang kulit ini juga memiliki bentuk dan warna yang mencolok yakni didominasi warna merah dan hijau sehingga memiliki aspek mistis lebih kuat. Dinamika wayang kulit Jawa Timuran memiliki perbedaan dengan Gagrak Jawa Tengah. Gagrak Jawa Timuran memiliki dinamika yang cenderung lebih keras, namun terkesan agung. Di mulai dari pathet sepuluh, pathet songo hingga pathet serang sebagai tanda mau berakhirnya pagelaran. Susunan acara, irama musik suluk (cengkok), pengucapan, hingga ekspresi dalangnya memiliki nuansa tersendiri. Keunikan wayang Gagrak Porongan ini menjadikan bermunculannya talenta-talenta dalang baru seperti Johan Susilo, Ki Supriyono, Ki Kunto dan masih banyak lagi geerasi muda yang meneruskan generasi senior yang piawai seperti Ki Wardono, Ki Suwerdi, Ki Sugilar dan lainnya. Mengangkat kisah Ramayana dan mahabharata dengan hanya mengangkat cerita dua  Tokoh Punakawan yaitu Semar dan Bagong.

            Saat wayang kulit Gagrak Porongan dalam kondisi mati suri, pemerintah Kabupaten Sidoarjo membangkitkan kembali pagelaran wayang kulit di 12 lokasi wilayah Sidoarjo. Pagelaran ini merupakan rangkaian perayaan Hari Jadi Kabupaten Sidoarjo yang ke 165. Pagelaran seni wayang kulit Gagrak Porongan memberikan hiburan tersendiri bagi masyarakat Sidoarjo, khususnya para orang tua yang pernah merasakan kebahagiaan melihat secara langsung pertunjukan Gagrak Porongan  di waktu muda, setidaknya pertunjukan wayang kulit ini diharapkan dapat meningkatkan kecintaan terhadap seni budaya Sidoarjo, khususnya pada generasi muda, karena wayang kulit Gagrak Porongan merupakan identitas budaya Kabupaten Sidoarjo. Kisah yang diangkat dalam pagelaran wayang Gagrak di Hari jadi Kota Sidoarjo salah satunya berjudul ”Wahyu Katentreman” bercerita tentang Negara Ngamarta yang dipimpin oleh raja yang bijaksana bernama Prabu Kunta Dewa yang mendapat ujian dari Tuhan yakni munculnya wabah penyakit di Negara tersebut, hingga terjadi peperangan, yang diakhiri dengan turunnya wahyu ketenterm dari langit. Kisah ini memiliki filosofi “kita jangan sampai melupakan adat budaya, agar kita selalu dalam rahmatnya”.

             Kisah-kisah yang meng-edukasi dalam pagelaran seni semacam ini seharusnya tetap menjadi pertunjukan yang terus dilestarikan dan tetap menggaung di Kabupaten Sidoarjo khususnya dan daerah lainnya. Dengan demikian Wayang Kulit Gagrak Porongan tetap lestari di tengah modernisasi.

 

Previous Post Next Post