Oleh : Supriyanto
(SMPN
2 Tanggulangin)
Secara geografis letak Sidoarjo berbatasan dengan Surabaya di sebelah utara, disebelah timur ada selat madura lalu di sebelah barat berbatasan dengan kabupaten Mojokerto dan sebelah Selatan berbatasan dengan wilayah Pasuruan.
Dahulu, konon Sidoarjo merupakan pusat Kerajaan
Jenggala namun perlu dibuktikan dengan peninggalan-peninggalan Kerajaan itu dan
juga merupakan bekas dari Kadipaten terung yang merupakan wilayah bawahan
Kerajaan majapahit di era majapahit akhir. Dahulu pada masa kolonialisme nama
Sidoarjo masih Sidokare.
Sebenarnya banyak Sejarah Sidoarjo yang perlu
diobservasi namun pada kesempatan kali ini fokus kita observasi kearifan lokal
yang ada di Sidoarjo. Banyak kearifan lokal dari Sidoarjo salah satunya lelang
bandeng, nyadran, ruwatan desa dan masih banyak lagi kearifan lokal yang sampai
sekarang masih dilestarikan.
Warga Balongdowo sibuk menata perangkat audio di atas
perahu nelayan yang ukurannya lumayan besar, dengan teliti merangkai perangkat
audio yang begitu banyak setelah dirangkai beberapa jam akhirnya perangkat
audio itu terangkai dan mulai di tes suaranya. Dentuman suara musik menggema
dari atas perahu warga yang bersiap disungai Balongdowo.
Wah, lagi ada kegiatan apa ya? Kegiatan ini merupakan
budaya khas dari masyarakat Balongdowo yaitu nyadran, tradisi ini dilakukan
sebagai bentuk syukur masyarakat yang mayoritas nelayan kupang. Sebenarnya
tradisi nyadran ini sudah ada sejak jaman Hindu-Budha yang disebut dengan Srada
yang dilakukan hanya untuk menghormati arwah raja atau arwah orang suci.
Namun sekarang nyadran sudah berubah yang merupakan
wujud Syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan dan karunia rezeki dari hasil
laut yang berlimpah. Iring-iringan perahu nelayan yang membawa sound besar
saling bersahutan seperti battle sound yang tak pernah ada hentinya.
Selama perjalanan banyak Masyarakat yang antusias untuk melihat iring-iringan
perahu yang melaju beriringan yang akan menuju makam dewi Sekardadu.
Setelah sampai di makan Dewi Sekardadu tumpeng-tumpeng
yang dibawa warga di turunkan lalu dikumpulkan jadi satu kemudian prosesi
dimulai dengan pembukaan doa dan dilanjutkan dengan tahlil setelah selesai lalu
dilanjutkan dengan berbagi makanan dan makan bersama.