Nyanyian Tumpeng Sidoarjo di Malam Satu Suro

Sumber gambar:Doc instagram.com/depotmantap/

Oleh : Gosita Ifantias Meisawitri

(E-mail: sitaifantias3005@gmail.com)

 

Malam Satu Suro dianggap sebagai malam yang sakral dan penuh makna filosofis. Bagi sebagian Masyarakat Jawa, malam ini dipandang sebagai malam yang tepat untuk melakukan refleksi diri, memohon ampun atas segala kesalahan di masa lalu, serta memanjatkan doa untuk keselamatan dan kesejahteraan di masa mendatang. Tradisi Jawa meyakini bahwa malam ini adalah saat yang tepat untuk membersihkan diri secara spiritual.

Di tengah modernisasi yang kian deras, Malam Satu Suro menjadi momentum penting bagi masyarakat Jawa khusunya Sidoarjo untuk kembali memaknai nilai-nilai warisan leluhur. Fanatisme kearifan lokal masyarakat Sidoarjo begitu terlihat dengan banyak kegiatan  dalam kehidupan masyarakat Sidoarjo, seperti selametan, ngumbah keris, tumpengan, megengan serta berbagi tradisi tradisional lainnya merupakan wujud upaya untuk melestarikan identitas budaya Jawa.

Salah satu tradisi yang tak terpisahkan dari perayaan Malam  Satu Suro di Sidoarjo adalah pembuatan tumpeng nasi kuning. Tumpeng menjadi simbol yang kaya akan makna filosofis bagi masyarakat Sidoarjo. Tumpeng terdiri dari nasi kuning berbentuk kerucut yang dilengkapi dengan aneka lauk-pauk khususnya ikan bandeng.  Masyarakat Sidoarjo meyakini bahwa ikan bandeng merupakan simbol kesalehan dan memiliki filosofi dan harapan bahwa hidup itu harus disyukuri. Apa yang kita makan nantinya akan disalurkan oleh darah keseluruh tubuh dan akan menjadi sifat dan watak kita.       



“Bandeng iku mangan lumut, neg mangan apik dadine yo apik, neg mangan elek dadine yo elek. Panganan seng kene pangan nduk bakal ditagih nang akhirat” Ucap salah satu wanita sepuh di Sidoarjo. Jika dimaknai bahwa makanan yang kita makan akan menjadi sifat yang kita miliki. Benda yang masuk dalam tubuh kita akan berpengaruh dengan hasil yang kita dapatkan.  Makanan halal dan baik akan dipertanggung jawabkan di dunia dan di akhirat seperti ikan bandeng. Ikan bandeng hanya makan lumut, ikan bandeng tidak makan apapun kecuali lumut. Itulah sebabnya masyarakat Sidoarjo meyakini bahwa ikan bandeng memiliki symbol kesalehan. Selanjutnya  bentuk tumpeng yang menjulang tinggi melambangkan hubungan manusia dengan Sang Pencipta. Sementara itu, warna kuning pada nasi tumpeng mewakili kemakmuran, kesejahteraan, dan keagungan.

Arus deras globalisasi tidak membuat masyarakat Sidoarjo  melupakan tradisi pembuatan tumpeng nasi kuning di Malam Satu Suro, melainkan mereka tetap melestarikan tradisi tersebut. Tumpeng menjadi simbol yang memelihara nilai-nilai luhur, spiritualitas, serta kebersamaan dalam masyarakat. Upaya pelestarian ini diharapkan dapat menjaga identitas budaya Jawa yang semakin terkikis oleh modernisasi.

Proses pembuatan tumpeng di Malam Satu Suro sarat akan makna. Mulai dari pemilihan bahan-bahan, penataan, hingga doa yang dipanjatkan di dalamnya. Setiap tahapan memiliki filosofi tersendiri yang mengingatkan masyarakat Jawa khusunya Sidoarjo akan pentingnya keselarasan antara manusia, alam, dan Sang Pencipta. Tradisi pembuatan tumpeng di Malam Satu Suro juga menjadi momen berkumpul dan berbagi bersama keluarga serta tetangga. Dalam prosesi tersebut, terjadi interaksi sosial yang memperkuat kebersamaan dan solidaritas masyarakat. Hal ini sejalan dengan salah satu filosofi tumpeng, yaitu berbagi kemakmuran dengan sesama.

 

Previous Post Next Post