SAKIT, "SAMBAT", DAN SYUKUR

SAKIT, "SAMBAT", DAN SYUKUR _

Oleh: Abdullah Makhrus_


“Jika kita menambah “sambat” (keluhan), maka berkurang rasa syukur. Jika kita menambah rasa syukur, maka akan berkurang “sambat” (keluhan) itu
”(Abdullah)

Satu bulan lebih terakhir ini, mungkin menjadi waktu yang cukup menegangkan dan menguras tenaga dan pikiran. Betapa tidak, ujian demi ujian kesehatan silih berganti menimpa pada Bapak, Ibu, dan anak saya yang paling kecil. Ibu saya diuji sakit cukup lama yaitu diare yang hampir sudah tidak bisa dikontrol lagi.

 
Hasil observasi terakhir setelah dilakukan tindakan kolonoskopi, Ibu divonis menderita tumor ganas usus besar. Setelah itu, Ibu sudah tidak mau lagi dibawa ke rumah sakit. Menurut beliau, rasanya sakit sekali ketika mengingat-ingat proses tindakan kolonoskopi, mulai menunggu antrian dengan puluhan pasien. 

 
Yang paling tidak membuat nyaman adalah saat dilakukan tindakan kolonoskopi. Sementara itu, Bapak juga mengeluh sakit badannya lemes, badan sakit semua. Setelah dicek darah, hasil pemeriksaan laboratorium didapati bahwa kadar gula Bapak cukup tinggi. Setelah itu, hasil lab saya bawa ke dr. Sarah  Dwitya di daerah Sidokare, ternyata didapati selain diabetes, Bapak juga sakit tipes.

 
Maka, hampir selama dua bulan saya harus fokus pulang pergi mengantar berobat, pergi ke apotik, mengecek kondisi kesehatan kedua orang tua yang masih belum stabil. Rasa capai, saya nikmati dan jadikan bagian dari syukur karena masih diberi kesempatan bisa merawat orang tua.
Saya yakin bahwa ujian itu pasti akan ada batas akhirnya. Tingkat kesulitan ujian tentu aan disesuaikan batas kemampuan peserta. Bukankah ujian anak SD berbeda dengan ujian anak SMP? Begitu pula ujian kehidupan yang kita hadapi. Ujian sakit, kekurangan harta, bahkan kehilangan jiwa. Semua sudah tertakar.


Hal yang paling menarik yang menjadi pelajaran bagi saya dan sering kali saya ceritakan ke ibu saya  adalah terus  belajar  sabar dan syukur dari kisah kesabaran Nabi Ayub as. Setelah sakit Ayyub cukup lama, istrinya berkata kepadanya, "Hai Ayyub, sekiranya kamu berdoa kepada Tuhanmu untuk kesembuhanmu, tentu Dia akan melenyapkan penyakitmu ini." Ayub menjawab, "Saya telah menjalani masa hidup selama 70 tahun dalam keadaan sehat. Masa itu sebentar, maka sudah sepantasnya bagiku bersabar demi karena Allah selama 70 tahun."


Sikap menarik yang ditampilkan Nabi Ayub ketika diminta berdoa kepada Allah agar diberikan kesembuhan. Namun, Beliau menolak dengan halus permintaan istrinya, sambil berujar. ""Aku malu meminta keada Allah.Kisah inilah yang kemudian sering saya sering saya ceritakan kepada ibu saya untuk terus menguatkan semangatnya. Selain itu juga mengingatkan pesan cintaNya yang lain


لا يكلف الله نفساً إلا وسعها
Bahwa Allah tidak membebani seseorang diluar kemampuannya (Al-Baqarah: 286).Dengan pesan cintaNya itulah yang  membuat ibunda, saya, dan sahabat semua, bismillah akan terus tegar menghadapi setiap ujian dengan sabar dan syukur. Wallahu a'lam.

Previous Post Next Post