Pendidikan dalam Perspektif Filsafat

Oleh: Dr. Ng. Tirto Adi MP, M.Pd )*

HINGGA kini, masih ada sebagian orang yang belum benderang dalam memaknai esensi dari pendidikan, pengajaran, dan pembelajaran. Pembelajaran (learning) adalah kegiatan belajar mengajar yang lebih menekankan peserta didik atau murid dalam belajar. Jadi peserta didik merupakan subyek yang belajar secara aktif bukan sebagai obyek dalam belajar. Sementara itu, pengajaran (teaching) adalah kegiatan belajar-mengajar yang lebih menekankan pada guru dalam melakukan "transfer of knowledge”. Dalam pengajaran, aktifitas guru lebih dominan ketimbang peserta didik.

    Lalu apa yang dimaksud dengan pendidikan? Dalam pandangan filsafat, pendidikan dapat dimaknai secara ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Secara ontologis pendidikan dapat diartikan secara mikro, meso, dan makro. Secara mikro pendidikan itu tidak lain adalah kegiatan belajar mengajar (KBM) di kelas maupun di luar kelas (out door learning). Ada komunikasi antara guru-murid maupun antarmurid. Merujuk kerangka berpikir psikolog pendidikan Amerika Serikat Benyamin Samuel Bloom (1913-1999) dalam KBM terdapat aspek pengetahuan (knowledge), keterampilan (psikomotorik) maupun pembentukan terhadap sikap (attitude). 

    Dalam pemahaman meso, pendidikan itu adalah upaya menyiapkan SDM (sumber daya manusia) yang andal dalam memasuki dunia kerja. Dunia kerja di sini, dimaksudkan peserta didik bisa menciptakan lapangan kerja sendiri (berwirausaha) atau dapat memasuki DU-DI (dunia usaha dunia industri). Untuk bisa berwirausaha mandiri atau siap latih/siap kerja dalam DU-DI, peserta didik tidak hanya perlu memiliki hardskill lebih dari itu juga perlu membekali diri dengan softskill. Softskill yang diperlukan dalam kehidupan kini dan mendatang, diantaranya: jujur, tanggung jawab, tangguh, komunikatif, kerjasama, berpikir kritis, dan kreatif.  Pengalaman lapangan membuktikan bahwa justru oleh dukungan softskill yang hebat itulah yang menjadikan seseorang dapat sukses mencapai karir puncak.

    Dalam pengertian makro, pendidikan itu merupakan upaya pembudayaan (enculturation). Ya, pendidikan bertugas membentuk manusia-manusia yang berbudaya, insan yang beradab. Tatanan apapun, apakah dalam dunia politik, ekonomi, sosial-budaya, hankam maupun keagamaan, jika dikendalikan oleh orang-orang yang berbudaya atau beradab, dunia akan terbangun secara damai, harmonis, dan berkemajuan.

    Dalam perspektif epistemologis, pendidikan itu adalah upaya pembentukan pola berpikir (mindset) manusia yang sistematis untuk memecahkan masalah atau menjalani hidup dalam kehidupan. Manusia yang telah terbentuk pola pikirnya, mapan dalam mindset-nya, kokoh dalam frame of thinking-nya, dia akan menjadi manusia yang tangguh, tahan uji, terukur dan terpola/tersistem pola berpikirnya dalam menapaki kehidupan.

    Sementara, pendidikan dalam perspektif aksiologis menjalankan peran homonisasi dan humanisasi. Homonisasi adalah tugas pendidikan yang membentuk calon-calon manusia menjadi manusia. Dalam homonisasi, manusia dikatakan sebagai manusia paripurna bila telah bisa membedakan antara hal-hal yang baik atau buruk, sesuatu yang patut atau tidak patut maupun sikap-perilaku yang pantas atau tidak pantas. Setelah tugas homonisasi tertunaikan, tugas pendidikan berikutnya adalah menjalankan peran humanisasi. Jadi titik kulminasi dari segala puncak pendidikan adalah mampukah manusia itu mamanusiakan manusia lain. Lebih substantif lagi, manusia terbaik sebagaimana nasihat Nabi Muhammad SAW  adalah manusia yang mampu memberikan kemanfaatan terbesar bagi manusia lain. Itulah kulminasi puncak dari hasil pendidikan. Bukankah begitu?!

)* Artikel yang diselesaikan menjelang shalat Ashar di masjid Nabawi Madinah al Munawaroh (2 Februari 2025) oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Sidoarjo, Doktor Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Malang.

Previous Post Next Post