HIATUS, JALAN UNTUK KEMBALI (1)

Sumber gambar: https://kbbi.lektur.id/hiatus

Oleh: Dr. Ng. Tirto Adi MP, M.Pd )*


PENGGUNAAN kata hiatus acapkali merujuk pada jeda atau istirahat sejanak. Arti hiatus adalah berhubungan dengan perasaan ingin beristirahat untuk menenangkan pikiran dan perasaan yang kacau. Menurut Cambridge Dictionary, hiatus adalah jeda atau rehat sejenak, tidak ada sesuatu yang terjadi. Umumnya, istilah hiatus dipakai untuk berhenti dari aktivitas sehari-hari dalam waktu yang ditentukan. Hiatus adalah ketidakhadiran untuk sementara waktu. 


Istilah hiatus juga kerap kali digunakan dalam konteks perpisahan sementara. Berdasarkan vocabulary.com, hiatus adalah istilah yang berasal dari bahasa Latin “ gap”, yang artinya jeda atau ketidakhadiran sementara. Hiatus adalah istilah yang bisa disamakan dengan istilah “ break” dalam bahasa Inggris, yang berarti jeda atau istirahat.


Mengapa hiatus atau rehat sejenak diperlukan? Setiap manusia, dalam kesehariannya, selalu disibukkan dengan aktifitasnya masing-masing. Yang berprofesi sebagai ASN (aparatur sipil negara), yakni, PNS (pegawai negeri sipil) atau P3K (pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja) disibukkan dengan rutinitas jam kantornya. Demikian pula, yang berprofesi sebagai TNI (Tentara Nasional Indonesia) atau Polri (Kepolisian Republik Indonesia), selalu disibukkan dengan jam dinasnya. Yang berprofesi sebagai non-ASN, pengusaha/wirausaha atau bekerja di sektor swasta apapun ragamnya, selalu disibukkan dengan aktifitasnya.


Sementara itu, seluruh organ tubuh pun –termasuk perut, sebagai pusat penampung makanan/minuman, misalnya—demikian halnya, perlu hiatus. Setelah berhari-hari “bekerja”, perlu adanya rehat sejenak untuk refresh, dengan cara berpuasa. Puasa bisa dimaknai selain bertujuan untuk membentuk insan bertaqwa dari sisi spiritualitas, dari sisi kesehatan juga dapat dimaknai sebagai istirahatnya perut dari aktifitas rutinnya, yakni makan-minum. Ibarat sebuah mesin, setelah sekian lama beroperasi atau “bekerja”, perlu adanya waktu untuk “pendinginan”, yakni istirahat sejenak.


Karena itu Nabi Daud AS mengajarkan untuk sehari puasa, sehari berbuka. Setelah perut sehari “bekerja”, sehari sesudahnya istirahat dengan cara puasa. Nabi Muhammad SAW, meneladankan puasa Senin-Kamis. Setelah dua/tiga hari perut beraktifitas, setelah itu perut berhenti sejenak dengan cara puasa Senin dan Kamis. Demikian pula dengan kewajiban puasa pada bulan Ramadhan, diwajibkan oleh Allah SWT sebulan penuh bagi orang-orang yang beriman (QS Al-Baqarah, 2: 183-185), setelah sebelas bulan dalam satu tahun, perut manusia terus beraktifitas. 


Puasa adalah upaya untuk mendidik jiwa, mengendalikan hawa nafsu, dan menyadarkan bahwa manusia memiliki kelebihan dibandingkan hewan atau makhluk hidup lainnya.  Pakar tafsir Alquran, M Quraish Shihab menjelaskan, secara umum puasa dapat dibagi menjadi dua, yaitu puasa wajib dan tidak wajib. Puasa wajib, dapat dibagi menjadi tiga kategori. Pertama, wajib karena waktu, seperti puasa Ramadhan. Kedua, wajib karena sebab tertentu, seperti umat Islam yang membatalkan sumpahnya maka diwajibkan berpuasa. Ketiga, yaitu wajib karena seseorang mewajibkannya atas dirinya sendiri. Sementara itu, puasa yang tidak wajib juga dibagi menjadi tiga kategori. Pertama, puasa yang dianjurkan pada hari-hari tertentu. Kedua, puasa yang dilarang untuk dilaksanakan di hari-hari tertentu. Sedangkan yang ketiga, puasa yang tidak dianjurkan dan tidak pula dilarang. 


Karena itu, di dalam Alquran tidak ditemukan perintah untuk berpuasa secara terus menerus selama setahun. Justru sebaliknya, Alquran menegaskan bahwa kewajiban berpuasa hanyalah pada hari-hari tertentu, seperti pada bulan Ramadhan.


Lalu, bagaimanakah dengan ibadah umroh (juga dengan haji)? Dapatkah dimaknai juga sebagai suatu hiatus? Setelah berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun kita bekerja, sudah selayaknya kita rehat sejenak. Sebagai orang yang beriman, hiatus yang memiliki makna spiritualitas, tidak lain adalah umroh atau haji, di samping secara transendental, memang ibadah dimaksud adalah sunnah atau diwajibkan bagi orang yang mampu untuk menjalankannya sebagai rukun Islam kelima. Umroh atau “haji kecil” disunnahkan bagi “orang-orang yang mampu”, bisa dengan paket sembilan, dua belas, enam belas hari atau hari-hari yang dikehendaki. 


Persoalannya adalah untuk bisa beribadah haji, seseorang harus bersabar menunggu panggilannya tiba sampai puluhan tahun. Barangkali dengan lamanya menunggu untuk bisa menunaikan ibadah haji itulah, lalu banyak orang, kini lebih memilih ibadah umroh terlebih dulu. Karena itulah trend untuk melaksanakan ibadah umroh dari waktu ke waktu secara statistik cenderung mengalami peningkatan signifikan.


Ketika ibadah umroh ditunaikan, tentu semuanya harus ditinggalkan untuk sementara waktu. Bagi yang berstatus sebagai pegawai, maka harus ijin cuti untuk bekerja. Seluruh harta kekayaan dan keluarga juga ditinggalkan untuk sementara waktu. Pada waktu ibadah umroh (juga haji tentunya), kita menyadari betul betapa semua harta kekayaan, jabatan, bahkan istri/suami, anak atau keluarga, semuanya adalah benar-benar sebagai amanah atau titipan yang harus ditinggalkan.


Pada saat ibadah umroh itulah, kita menjadi menyadari betul, siapa diri kita sejatinya. Dari mana  manusia, alam semesta, dan kehidupan ini berasal? Dimana kita sekarang berada dan apa yang mau dilakukan? Dan mau menuju kemana kita kelak akan kembali, setelah kehidupan dunia ini? Barangkali inilah puncak kesadaran manusia kembali muncul ke asalinya, sebagaimana yang dilukiskan indah oleh Allah dalam QS. Al-baqarah, 2: 156: “ Innalillahi wa inna ilaihi raji’un”. Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya kami akan kembali. Inilah yang oleh sufi asal Persia, Syekh Siti Jenar (dikenal dengan nama Syeh Lemah Abang) disebut “ manunggaling kawula Gusti”. Suatu ajaran atau kepercayaan dalam Kejawen yang bermakna menyatunya makhluk, orang biasa ( kawula) dengan ratu (raja), dalam menghadap Sang Pencipta. Gagasan utamanya adalah bahwa manusia dan alam semesta berada dalam kesatuan ilahiah. Ajaran ini tidak terlepas dari dorongan dalam filsafat Jawa untuk menemukan kesempurnaan dalam hidup.


Di situlah barangkali mentalitas sebagai “jukir”atau juru parkir perlu untuk direnungi dan diambil sebagai pelajaran. Ketika sepeda angin, motor atau mobil yang dititipkan kepada jukir diambil oleh pemiliknya, pernahkah jukir melarang atau menahan barang-barang tersebut untuk diambil pemiliknya? Sepertinya, tidak akan pernah ada, itu dilakukan oleh jukir. Bahkan ketika sang pemilik mengambil barang-barang titipannya, jukir justru menjadi sangat senang, karena tanggung jawabnya sebagai penjaga akan segera berakhir.


Kalau kita memosisikan bahwa semua harta kekayaan, jabatan, bahkan istri/suami, anak atau keluarga, semuanya adalah amanah atau titipan, maka ketika diambil oleh pemiliknya, yakni Sang Khaliq, seharusnya kita ikhlas, legowo, tanpa ada penyesalan. Di saat kita sedang hiatus, di tanah suci (Makkah al Mukaramah & Madinah al Munawarah) itulah hati, rasa dan pikiran sebagai seorang hamba yang rendah dan hina itu benar-benar berada pada titik nadir, posisi yang serendah-rendahnya. Kondisi yang sekecil-kecilnya sebagai seorang hamba. Tidak ada yang Maha Tinggi dan Maha Besar kecuali Allah Azza Wa Jalla. Di dua tempat tanah haram saat berumroh itulah, tidak bisa tidak, kita menangis, menyesali atas dosa, salah atau khilaf yang pernah terperbuat. Beristighfar, bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW, dan berdzikir kepada-Nya adalah jalan yang harus ditempuh. Bukankah begitu?!  

Catatan Ibadah Umroh (31 Januari – 13 Februari 2025): 

)* Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sidoarjo & Doktor Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Malang

Previous Post Next Post